INDODAILY.CO, PALEMBANG — Orang tua adalah pelita kehidupan bagi anak-anaknya. Apapun itu, demi anak semua akan mereka lakukan. Kehidupan yang lebih baik dimasa depan adalah impian orang tua untuk anak-anaknya dan sekarang mereka sedang berkorban jiwa raga demi masa depan cerah putra putrinya.
Kulitnya hitam legam, langkahnya sudah tak mulai kokoh. Ada keraguan melihat laki-laki paruh baya itu meniti tiang rumah ke rumah. Perasaan iba dan tak tega melihat rambut putihnya berkilau di bawah panas tengah hari. Namun harus segera ditepis jika melihat lekukan senyum di wajahnya serta kobaran semangat yang kian nyala.
“Selepas magrib ayah nanti ada di rumah,” Ujar Anggun anak Ansari waktu di telefon sore itu.
Sembari menunggu kedatangan Ansari dari pulang berkerja, Anggun menceritakan sedikit seluk beluk tentang pahlawan keluarganya itu.
Laki-laki paruh baya itu bernama Ansari. Setiap hari ia bermain dengan palu, paku dan semen. Palu adalah alat penyambung hidup baginya dan keluarga. Pekerjaan ini sudah digelutinya sejak 40 tahun yang lalu. Mulai dari coba-coba hingga orang mempercayakan padanya membangun rumah tempat mereka pulang. Beliau adalah anak ke-3 dari 3 bersaudara. Posisi sebagai anak bungsu sebenarnya sangat menguntungkan, tapi beda cerita dengan Ansari.
“Saya sudah lama jadi kuli buat mencari nafkah,” ujar Ansari.
Ansari menjadi kuli bangunan saat masih remaja. Usia 13 tahun ia dibawa oleh pamannya, karena saat itu sudah putus sekolah. Bukan tanpa alasan, saat ayahnya menghadap sang khalik dan Ansari pun berhenti bersekolah. Hingga tak ada satupun ijazah yang ia miliki.
Tak memiliki Ijazah bukan penghalang bagi Ansari untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi. ia dikarunia 6 orang anak, 2 laki-laki dan 4 perempuan. Anak-anak ini memiliki jiwa dan semangat dalam menuntut ilmu. Hal inilah yang membuat Ansari banting tulang tanpa henti.
“Usaha saya tidak sia-sia, alhamdulillah anak saya sekolah semuanya. Mereka semua punya cita-cita yang tinggi,” jelas Ansari.
Saat ini anak sulung Ansari sudah mendapatkan gelar sarjana dan menjadi guru honorer di salah satu sekolah dekat rumahnya, Anak ke-2 dan ke-3 sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi di kota yang berbeda, sedangkan anak ke-4 dan ke-5 duduk di bangku SMA dan si bungsu yang baru masuk SMP.
“Anak-anak saya ingin sekolah dan itu adalah tanggung jawab saya sebagai orang tuanya,” ucap Ansari saat di wawancarai via telefon 22 November lalu.
Menjadi kuli bangunan di usia renta dengan tenaga yang sudah mulai lemah serta keseimbangan yang payah, tak membuat Ansari patah semangat dan lelah. Belum lagi jika lokasi pembangunan yang jauh dari rumah, ia harus menginap di proyek pembangunan tersebut dengan perlengkapan dan alat tidur seadanya.
Walaupun sudah lanjut usia, karya dan perhitungan Ansari tidak pernah meleset. Kemampuan hitung menghitung material dan komponen bangunannya bisa diandalkan sehingga banyak yang meminta jasa Ansari.
Ansari tidak pernah pilih-pilih kerjaan. Kerjaan apapun pasti dilakukannya dengan sepenuh hati. Jika proyek sedang tidak ada, Ansari beralih profesi menjadi petani atau kuli tani hingga pengangkut kayu. Karena Ansari sadar bahwa jika ia pilih-pilih maka tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan menganggur, sehingga mengurangi penghasilannya. Sedangkan kebutuhan biaya rumah tangga dan sekolah anaknya kian meningkat. Keperluan dapur yang harus di isi, SPP bulanan yang wajib di bayar, hingga kiriman untuk anak-anaknya di rantau. Memang penghasilan Ansari sering kali tak mencukupi dan pinjam sana-sini.
“Mencari uang zaman sekarang susah, jadi anak-anak saya tidak boleh merasakan apa yang saya rasakan, jadi mereka harus sekolah”, tutup Ansari.
Semangat mengais rezeki di hari tua bagi Ansari adalah pengorbanan dan cita-cita. Selain sebagai bentuk tanggung jawab sebagai seorang suami dan ayah juga sebagai bentuk perwujudan yang tak pernah dapat ia rasakan. Saat anaknya berhasil maka cita-citanya sudah terwujud.