Dari Pengungsi Jadi Pemilik: Kisah Warga Eks Pejuang Timtim yang Merasakan Manfaat Reforma Agraria

KUPANG – Teriknya matahari di Desa Oebola Dalam, Kabupaten Kupang, seolah terasa teduh di teras rumah bercat putih milik Aveline (37). Perempuan yang akrab disapa Mama Leticia itu tak kuasa menahan haru saat menceritakan kehidupannya kini.

Setelah bertahun-tahun hidup tanpa kepastian, ia akhirnya memiliki rumah dan sertipikat tanah berkat program Reforma Agraria melalui redistribusi tanah untuk eks pejuang Timor Timur (Timtim) pada 2023 lalu.

Di halaman rumah barunya, berdiri sebuah kios kecil yang menjadi sumber penghasilan baru bagi Aveline. Dari hasil berjualan kebutuhan sehari-hari, ia mulai menata kemandirian ekonomi keluarga.

“Bahagia sekali, Pak. Akhirnya bisa punya rumah dengan hak milik sendiri. Tanpa bayar, tanpa keluar biaya sedikit pun,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca saat ditemui di teras rumahnya, Rabu (5/11/2025).

Bagi Aveline, sertipikat tanah bukan sekadar selembar dokumen, melainkan simbol kebebasan dari masa lalu yang penuh ketidakpastian. Sejak peristiwa besar pada 1999 yang memisahkannya dari tanah kelahiran, ia dan keluarga hidup berpindah-pindah, menumpang di lahan milik orang lain atau pemerintah.

“Rumahnya memang kami bangun sendiri, tapi tanahnya milik orang,” kenangnya lirih.

Kini, hidupnya perlahan berubah. Meski baru sebulan menetap di rumah baru, Aveline sudah mulai membangun harapan. “Puji Tuhan, peluang usaha sudah mulai bermunculan di sini,” tuturnya penuh semangat.

Program Redistribusi Tanah dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) membawa harapan baru bagi ratusan keluarga seperti Aveline, keluarga para eks pejuang Timtim yang selama ini hidup di atas tanah tanpa kepastian hukum.

Salah satu penerima manfaat lainnya adalah Eugenio Jubito Lobo (30). Setelah lebih dari dua dekade tinggal di rumah darurat dan kamp pengungsian, kini ia bisa bernapas lega. Ia resmi memiliki tanah dan rumah layak huni yang bersertipikat hak milik.

“Dulu status tanah kami tidak jelas, kadang disebut milik pemerintah, kadang milik TNI. Sekarang sudah atas nama pribadi. Rasanya tenang dan bangga,” ujar Eugenio.

Sebagai generasi kedua dari keluarga pejuang eks Timtim, Eugenio tumbuh dalam kisah perpindahan dan perjuangan. Namun kini, ia ingin mewariskan cerita berbeda kepada generasi berikutnya: kisah tentang rumah, tanah, dan masa depan yang lebih pasti.

“Di usia muda dan belum berkeluarga, saya sudah punya rumah sendiri. Rasanya luar biasa. Program ini bukti negara menghargai jasa dan pengorbanan orang tua kami,” ungkapnya sambil menatap halaman rumah, tanah yang kini resmi menjadi miliknya. (*)

Pos terkait