Menteri Imipas: Amnesti, “Overcrowding” Lapas, dan Overkriminalisasi

Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Republik Indonesia, Jenderal Pol (Purn) Agus Andrianto

INDODAILY.CO, JAKARTA — Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Republik Indonesia, Agus Andrianto mengungkapkan bahwa dalam politik hukum, ada saat ketika negara harus melangkah keluar dari teks hukum demi menyelamatkan semangat keadilan substansial.

“Dalam logika hukum biasa, kejahatan semacam itu, akan ditangani sebagai peristiwa individual. Namun dalam logika etik politik, ketika pada derajat tertentu kejahatan dipandang meluas dan masif, maka negara perlu keluar dari teks hukum demi menyelamatkan semangat keadilan substantif,” ujar Menteri Imipas, Agus Andrianto.

Dikatakan Agus, bahwa Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada 116 ribu narapidana, sebagian besar di antaranya adalah korban dari ketimpangan hukum yang disorientasi.

Seperti pengguna narkotika yang seharusnya direhabilitasi, warga binaan dengan gangguan kejiwaan, pelanggar protokol yang terkena UU Kekarantinaan, orang-orang yang dihukum karena mengkritik kekuasaan lewat media sosial, dan sebagainya.

Amnesti bukanlah membatalkan kejahatan. Melainkan suatu bentuk pengakuan negara bahwa pada kondisi tertentu, sistem hukum tidak mampu menangani suatu pelanggaran secara adil dan manusiawi. Amnesti bisa jadi adalah bentuk permintaan maaf negara pada korban overkriminalisasi.

Bacaan Lainnya

Di masa lalu, amnesti diberikan kepada korban politik. Namun dalam konteks saat ini, amnesti juga bisa diberikan kepada korban kejahatan struktural akibat sistem hukum yang disfungsional. Amnesti menjadi semacam koreksi terhadap kegagalan struktural sistem hukum.

Konteks ini juga terlihat dari struktur penghuni lembaga pemasyarakatan yang saat ini mengalami overcrowding. Amnesti menjadi bentuk respons negara terhadap masalah kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan dan overkriminalisasi.

“Overcrowding” dan Overkriminalisasi
Diskriminasi sosial juga tampak dari struktur penghuni lapas yang mayoritas berasal dari kelompok miskin dan tidak terdidik. Sementara kelompok elite dengan pelanggaran berat cenderung mendapatkan perlakuan khusus, bahkan kebal hukum.

Dalam A Theory of Justice, John Rawls menyatakan bahwa keadilan harus dilihat dari perspektif orang yang tidak tahu posisi sosialnya dalam masyarakat. Jika sistem hukum dilihat dari perspektif tersebut, maka sangat mungkin sistem hukum akan mengutamakan prinsip kesetaraan dan keadilan bagi masyarakat.

Di sinilah letak keadilan kebijakan amnesti. Ia bukan semata pengampunan, melainkan sebagai bagian dari keadilan distributif, yakni distribusi rasa keadilan bagi masyarakat.

Data Ditjen PAS menunjukkan, lebih dari 53 persen penghuni lapas adalah pengguna narkotika. Pengguna narkotika mestinya direhabilitasi, bukan dipenjara. Kita menjadikan mereka sebagai narapidana, lalu membiarkan mereka ke lapas.

Sebagian besar penghuni lapas dari kategori kejahatan ringan tidak mendapatkan akses untuk mendapatkan keadilan, atau secara tidak langsung dirugikan oleh sistem peradilan tertutup. Negara cenderung membiarkan ketimpangan tersebut, di mana ia kadang malah menambahkan stigma jika publik mempersoalkannya.

Dalam kondisi ini, peran amnesti menjadi penting untuk memperbaiki kondisi yang timpang. Oleh karena itu, Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 memberikan wewenang Presiden memberikan amnesti. Ini menjadi bukti bahwa amnesti merupakan alat koreksi sistemik yang sah secara konstitusional.

Reformasi Lapas dan KUHP
Bersyukur kita telah memiliki KUHP baru yang akan mulai diberlakukan pada Januari 2026. Ini menjadi momentum bersejarah bagi Indonesia untuk menutup lembaran panjang penggunaan KUHP warisan kolonial.

Dalam konteks reformasi hukum, overkriminalisasi berlebihan dan overcrowding lapas menjadi dua isu utama yang harus segera dijawab secara sistemik. KUHP baru menjadi awal reformasi hukum pidana Indonesia secara komprehensif.

“Kita perlu mendesain ulang sistem pemasyarakatan kita, termasuk memodifikasi aturan pidana yang tidak relevan lagi di masa kini. Kita juga perlu mengadopsi prinsip-prinsip pemasyarakatan modern yang lebih manusiawi, progresif, dan berkeadilan sosial,” tegasnya.

Agus menyebut, bahwa di Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, pihaknya melihat amnesti ini sebagai titik balik dan titik awal.

“Kami akan terus memperbaiki infrastruktur pemasyarakatan dari blok demi blok, memperbaiki manajemen sumber daya, serta membangun kultur pelayanan berbasis hak asasi manusia,” imbuhnya.

Tentu reformasi hukum dan pemasyarakatan ini tidak cukup dilakukan oleh satu kementerian. Harus menjadi gerakan bersama semua lembaga hukum, lembaga peradilan, dan masyarakat sipil.

Filsuf hukum Amartya Sen menyatakan, keadilan hukum bukan hanya soal aturan yang sah secara legal, tetapi soal apakah hukum tersebut bisa mengurangi penderitaan dan memulihkan martabat manusia.

“Dengan semangat tersebut, amnesti, reformasi hukum, dan pemasyarakatan bukan sekadar urusan teknis atau administratif. Ia adalah urusan moral bangsa ini dalam mewujudkan Indonesia yang lebih adil dan bermartabat,” tandasnya.

Pos terkait