INDODAILY.CO,PALEMBANG- Sidang perkara dugaan korupsi pengadaan Alat Pemadam Api Ringan (APAR) Dana Desa dengan terdakwa Aprizal memanas setelah tim kuasa hukum membeberkan sederet kelemahan mendasar dalam dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Nota pembelaan atau pledoi dibacakan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang, Rabu (31/12/2025).
Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Pitriadi, SH, MH, dan dihadiri JPU Kejaksaan Negeri Empat Lawang. Aprizal didampingi tim penasihat hukum dari Kantor Hukum Dr. Hasan Amulkan Sagito, SH, MH, bersama Muhammad Ricko Prateja, SH, Ardiansah, SH, serta Medi Rama Doni, SH, MH.
Dalam pledoinya, penasihat hukum menilai konstruksi perkara yang dibangun JPU bersifat menyamaratakan perbuatan tanpa memisahkan peran, tanggung jawab, dan keuntungan masing-masing pihak. Pendekatan tersebut dinilai bertentangan dengan asas pertanggungjawaban pidana yang menekankan kesalahan individual.
“JPU membangun dakwaan secara global, seolah seluruh persoalan Dana Desa dibebankan kepada satu orang, tanpa personalisasi perbuatan dan tanggung jawab hukum,” tegas penasihat hukum di persidangan.
Sorotan utama pembelaan diarahkan pada unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 3 UU Tipikor. Menurut kuasa hukum, unsur tersebut gagal dibuktikan secara sah dan meyakinkan.
JPU dinilai tidak konsisten dalam memaknai sifat delik Pasal 3. Di satu sisi disebut sebagai delik formil, namun di sisi lain justru merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menegaskan Pasal 3 sebagai delik materiil, sehingga mensyaratkan adanya kerugian negara yang nyata, pasti, dan terukur.
“Jika Pasal 3 diperlakukan sebagai delik materiil, maka kerugian negara harus konkret dan jelas. Faktanya, angka yang disampaikan JPU berubah-ubah dan tidak pernah dipastikan,” ujar penasihat hukum.
Dalam pledoi diungkapkan, JPU keliru menyamakan seluruh anggaran Dana Desa lebih dari Rp2,1 miliar sebagai kerugian negara. Padahal, berdasarkan fakta persidangan, sebagian besar kegiatan telah direalisasikan, barang APAR tersedia dan telah diserahkan ke desa, serta tidak seluruh dana dikuasai atau dinikmati terdakwa.
Kontradiksi semakin terlihat ketika JPU menggunakan beberapa angka berbeda sebagai dasar kerugian negara. Mulai dari Rp2,1 miliar dalam tuntutan, Rp2,05 miliar berdasarkan Laporan Hasil Audit (LHA) Inspektorat, hingga fakta persidangan yang menunjukkan dana yang terkumpul dari delapan kecamatan hanya sekitar Rp1,05 miliar, dengan nilai pembelian barang sekitar Rp328 juta.
“Tidak ada pemisahan yang jelas antara kerugian negara, nilai barang, kesalahan administrasi, dan tanggung jawab pihak lain. Padahal Pasal 3 mensyaratkan kepastian nominal kerugian,” kata penasihat hukum.
Pembelaan juga menyoal penggunaan LHA Inspektorat Kabupaten Empat Lawang sebagai satu-satunya dasar pembuktian kerugian negara. Menurut kuasa hukum, Inspektorat merupakan lembaga pengawasan internal yang tidak memiliki kewenangan menetapkan kerugian negara secara final, terlebih audit dilakukan secara global tanpa mempersonalisasi tanggung jawab hukum.
Keberatan turut disampaikan atas tuntutan uang pengganti lebih dari Rp371 juta. JPU dinilai salah menafsirkan Pasal 18 UU Tipikor dengan menganggap seluruh aliran dana pengadaan sebagai uang yang dinikmati terdakwa.
“Terdakwa secara jujur mengakui hanya menerima sekitar Rp477 juta dengan keuntungan bersih kurang lebih Rp69 juta. Fakta ini tidak pernah dibantah JPU dengan bukti tandingan,” ungkap penasihat hukum.
Pengembalian dana Rp500 juta oleh terdakwa ditegaskan sebagai bentuk itikad baik, bukan pengakuan menikmati uang sebesar Rp871 juta sebagaimana didalilkan JPU.
Atas seluruh uraian tersebut, penasihat hukum meminta Majelis Hakim menilai secara objektif unsur kerugian negara dan tuntutan uang pengganti agar diputus secara proporsional dan berkeadilan.
“Terdakwa bukan pengelola Dana Desa, bukan pemegang kekuasaan anggaran, dan bukan pihak yang mencairkan dana. Membebankan seluruh kerugian negara kepadanya jelas tidak adil,” pungkasnya.
Sebelumnya, JPU dalam tuntutannya menyatakan Aprizal tidak terbukti melanggar dakwaan primer Pasal 2 UU Tipikor, namun dinilai terbukti melanggar Pasal 3 UU Tipikor. Atas dasar itu, JPU menuntut pidana penjara 1 tahun 8 bulan, denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan, serta uang pengganti lebih dari Rp800 juta.
Dari tuntutan uang pengganti tersebut, terdakwa telah menyetorkan Rp500 juta, sehingga sisa sekitar Rp300 juta lebih. Jika tidak dibayarkan, diganti dengan pidana kurungan selama 10 bulan.
Sidang akan dilanjutkan dengan agenda tanggapan JPU atas pledoi terdakwa (replik). (Hps)























