Prof Dr H Fernadya Sima Antasari: SODEN SANTRI MBELING

Jakarta, 13 Desember 2025 Oleh: Prof. Dr. H. Fernadya Sima Antasari, Lc., MA., MBA.

INDODAILY.CO, JAKARTA — Di sebuah pondok pesantren Sirojuth Tholibin yang asri, hiduplah seorang santri bernama Soden. Ia dijuluki “Santri Beling” oleh teman-temannya.

Bukan tanpa sebab—Soden memang terkenal sering membuat ulah. Dari membolos pengajian hingga mencoret-coret dinding asrama, semua kenakalan itu seolah sudah menjadi kebiasaannya. Namun, ada satu hal yang membuatnya berbeda dari santri nakal lainnya: kecerdasan dan rasa ingin tahunya yang tinggi.

Suatu hari, pengasuh pondok, KH. Suyuti Ishaq, memanggil Soden ke ruangannya.

> “Soden, kenapa kamu sering membuat masalah? Kamu santri cerdas, seharusnya bisa lebih baik,” ujar beliau sambil menatapnya dalam-dalam.

Soden tertunduk. Ia bingung menjawab. Dalam hatinya, ia merasa ada yang kurang. Ia menginginkan sesuatu yang lebih menantang, lebih mendalam. Ia tidak puas hanya mengikuti rutinitas pondok yang terasa monoton.

Bacaan Lainnya

KH. Suyuti Ishaq tersenyum, seolah memahami keresahan itu.

> “Aku punya tugas untukmu. Mulai besok, kamu bantu di Ndalem saja. Bantu di dapur. Mungkin di sana kamu akan menemukan apa yang kamu cari.”

Soden terkejut. Ia mengira akan dihukum, tetapi justru diberi tanggung jawab.

Keesokan harinya, ia mulai membantu di dapur Ndalem—mengambil air dari sungai, memikulnya sampai ke dapur untuk mengisi gentong minum keluarga Ndalem dan pondok putri. Alhamdulillah, setiap tiga hari sekali ia melakukan pemikulan air kurang lebih 10 pikul.

Di antara tumpukan kayu, Soden menemukan sebuah kitab tebal berdebu: sebuah manuskrip kuno berjudul “Kitab Ngaji Roso.” Isinya membahas hakikat ilmu, akhlak, dan perjalanan batin seorang santri dalam mencari makna sejati.

Setiap hari setelah pelajaran selesai, Soden menyempatkan diri ke dapur Ndalem untuk mengecek apakah ada pekerjaan yang bisa ia bantu. Biasanya, jika ia sedang “timbul mbeling”, ia justru bersembunyi di dapur untuk menghindari ngaji.

Bahkan saat teman-temannya salat Subuh, Soden sering masih tidur. Ketika dibangunkan, alih-alih mengambil air wudu, ia malah pindah ke talang atau ke bawah rerumbutan bambu di pinggir WC. Maklum, WC pondok salaf di tahun 1991 masih sangat sederhana, hanya berupa pijakan kayu seperti jembatan kecil.

Namun dalam diam, Soden terus membaca kitab yang ia temukan itu. Semakin ia membaca, semakin ia sadar bahwa mencari ilmu bukan hanya melalui bangku pengajian atau sekolah. Ada hal lain yang tidak kalah penting:
hidmah kepada Ndalem, sami’na wa atho’na kepada Mbah Yai dan Mbah Nyai, pengendalian diri, ketulusan, dan keikhlasan.

Teman-temannya heran melihat perubahan Soden.

“Apa yang terjadi padamu, Beling?” tanya seorang santri.

Soden tersenyum pelan.

“Aku menemukan sesuatu yang lebih menantang daripada membuat ulah: menemukan jati diriku sendiri,” ungkapnya.

Lama-kelamaan, Soden yang dulu dikenal sebagai pembuat onar kini berubah menjadi santri yang rajin membantu Ndalem, bahkan sering membantu santri lain yang kesulitan.

KH. Suyuti Ishaq, yang memperhatikannya dari jauh, tersenyum puas.

“Beling, pecahan kaca, kini telah berubah menjadi permata yang bersinar,” imbuhnya.

Sejak saat itu, Soden tidak lagi dikenal sebagai Santri Beling, melainkan Santri Cendekia. Kenakalan yang dulu menjadi ciri khasnya lenyap, berganti dengan keteguhan hati untuk terus mencari ilmu dan menjadi pribadi yang lebih baik. Pondok pesantren itu pun mendapat kebanggaan baru dari seorang santri yang dulunya dianggap tidak memiliki masa depan.

Pos terkait