Polarisasi di Era Digital: Ancaman Diam-diam bagi Persatuan dan Demokrasi

Zaid Amin, Ph.D. Dosen Teknk Informatika, Universitas Bina Darma Palembang Sumsel (IST)
Zaid Amin, Ph.D. Dosen Teknk Informatika, Universitas Bina Darma Palembang Sumsel (IST)

PALEMBANG, INDODAILY.CO –

Tumpulnya Kekuatan Kolektif Masyarakat:

“Ketika masyarakat tidak bersatu, maka kontrol terhadap negara melemah. Polarisasi adalah bentuk disorganisasi sosial yang bisa menguntungkan pihak berkuasa.” (Putnam, 2000)

Di era digital saat ini, kita semakin sering melihat masyarakat saling berdebat, bertengkar, bahkan bermusuhan hanya karena perbedaan pendapat. Apa yang dulu bisa didiskusikan secara terbuka kini mudah berubah menjadi serangan pribadi, saling menyalahkan, atau bahkan kampanye kebencian. Fenomena ini dikenal sebagai “polarisasi”, dan ia telah menjadi salah satu tantangan terbesar dalam kehidupan sosial kita saat ini.

Polarisasi bukan sekadar berbeda pandangan. Ini adalah kondisi ketika perbedaan itu berubah menjadi jurang yang dalam memisahkan kelompok masyarakat satu dengan yang lain. Kita tidak lagi berdiskusi untuk mencari solusi, melainkan untuk membuktikan bahwa pihak “kita” selalu benar dan pihak “mereka” selalu salah.

“Polarisasi ideologis membuat masyarakat lebih fokus pada siapa yang berbicara ketimbang apa yang disampaikan.” (Mason, 2018)

Sayangnya, dampak dari polarisasi ini jauh lebih serius daripada sekadar perdebatan sengit di media sosial. Polarisasi membelah masyarakat. Ketika masyarakat terpecah belah, maka kekuatan untuk bersatu memperjuangkan kepentingan bersama pun melemah. Kita kehilangan kemampuan untuk membentuk solidaritas sosial, apalagi untuk berdiri bersama mengkritisi kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.

Yang lebih mengkhawatirkan, dalam situasi seperti ini, pemerintah yang tidak demokratis justru diuntungkan. Ketika rakyat sibuk berkonflik satu sama lain, perhatian terhadap isu-isu penting seperti korupsi, ketimpangan ekonomi, atau kebijakan yang tak adil menjadi “kabur.” Kritik dianggap sebagai serangan politik, bukan sebagai upaya memperbaiki keadaan. Polarisasi membuat kita mudah dipecah dan dikuasai. Ini adalah strategi klasik: divide et impera pecah belah dan kuasai.

Apa itu Polarisasi Digital?

Era digital telah merevolusi cara manusia berkomunikasi, mengakses informasi, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Namun, di balik kemudahan dan konektivitas yang ditawarkan, teknologi digital juga membawa dampak serius: meningkatnya polarisasi sosial dan politik. Polarisasi ini tidak hanya menciptakan jurang perbedaan pendapat, tetapi juga mengancam kohesi sosial dan demokrasi.

Polarisasi digital merujuk pada pembentukan kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki pandangan sangat berbeda dan sering kali ekstrem yang diperkuat oleh interaksi di ruang digital. Orang cenderung hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan pandangan mereka, membentuk “echo chambers” dan “filter bubbles” (Pariser, 2011).

Akibatnya, dialog antar kelompok melemah, dan empati terhadap sudut pandang lain pun menurun. Polarisasi yang terjadi di ruang digital ini juga diperparah dengan adanya “Fragmentasi media”, yaitu kondisi dimana polarisasi merujuk pada kondisi ekosistem media terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok yang menyajikan konten berdasarkan orientasi politik, ideologi, atau kepentingan tertentu, sehingga memperkuat keterbelahan dalam masyarakat.

Dalam masyarakat yang terpolarisasi, individu atau kelompok cenderung hanya mempercayai informasi yang sesuai dengan pandangan atau afiliasi ideologis mereka. Akibatnya, kepercayaan terhadap pihak yang berbeda pandangan, termasuk media, institusi negara, bahkan sesama warga menjadi luntur. Polarisasi menciptakan batas-batas psikologis dan sosial yang kaku, sehingga menghambat dialog serta memperkuat “prasangka”.

Ketika media dianggap berpihak atau memihak pada kelompok tertentu, publik mulai meragukan objektivitas dan kredibilitas informasi yang disampaikan. Masing-masing kelompok kemudian membangun “media alternatif” yang mengukuhkan narasi kelompoknya sendiri, tanpa melalui proses verifikasi yang memadai. Hal ini memperparah disinformasi dan menciptakan lingkungan informasi yang saling bertentangan, yang pada akhirnya memperdalam “krisis kepercayaan.”

Tidak hanya media, kepercayaan terhadap institusi publik seperti pemerintah, parlemen, lembaga peradilan, dan lembaga penegak hukum juga terpengaruh oleh polarisasi. Ketika suatu institusi dianggap berpihak kepada satu kelompok politik tertentu, maka pihak yang berseberangan cenderung tidak lagi mempercayai institusi tersebut.

Padahal, demokrasi yang sehat membutuhkan institusi yang dipercaya oleh semua warga negara, terlepas dari perbedaan pandangan politik. Krisis kepercayaan ini menciptakan situasi di mana kebijakan publik yang seharusnya bersifat inklusif dan “berbasis bukti” menjadi sulit diterima oleh sebagian masyarakat karena dianggap sarat kepentingan.

Lebih jauh, polarisasi juga menggerus kepercayaan antarwarga negara. Masyarakat yang terbelah dalam kubu-kubu ideologis cenderung melihat pihak lain sebagai ancaman, bukan sebagai sesama warga yang bisa diajak bekerja sama. Hal ini menciptakan konflik horizontal yang memperlemah solidaritas sosial dan mengganggu kohesi nasional. Dalam kondisi seperti ini, kerja kolektif untuk menyelesaikan masalah bersama menjadi sulit terwujud karena rendahnya tingkat saling percaya.

Dengan demikian, polarisasi bukan hanya memperkeruh ruang publik, tetapi juga memicu dan memperdalam krisis kepercayaan dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Krisis kepercayaan yang lahir dari polarisasi akan berdampak negatif pada stabilitas sosial, efektivitas kebijakan publik, serta keberlanjutan sistem demokrasi itu sendiri. Maka, mengurangi polarisasi bukan hanya soal mengelola perbedaan, tetapi juga tentang memulihkan kepercayaan yang menjadi fondasi dari masyarakat yang sehat dan demokratis.

Peran Media Sosial dan Algoritma:

Platform seperti Facebook, YouTube, dan TikTok menggunakan algoritma personalisasi untuk menampilkan konten yang dianggap relevan bagi pengguna berdasarkan interaksi sebelumnya. Meskipun meningkatkan keterlibatan pengguna, algoritma ini secara tidak langsung memperkuat polarisasi dengan terus menyajikan konten yang memperkuat pandangan pengguna (Tufekci, 2015). Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan ilusi bahwa pandangan mereka adalah mayoritas atau satu-satunya yang benar.

Salah satu efek paling nyata dari polarisasi digital adalah penyebaran misinformasi dan hoaks yang sangat cepat. Studi menunjukkan bahwa berita palsu cenderung menyebar lebih cepat dibandingkan berita faktual karena sifatnya yang sensasional dan provokatif (Vosoughi et al., 2018). Polarisasi membuat individu lebih mudah percaya informasi yang sesuai dengan bias mereka tanpa melakukan verifikasi.

Dampak terhadap Kehidupan Sosial dan Politik:

Polarisasi digital tidak hanya terbatas pada interaksi di dunia maya, melainkan telah merembes ke dalam berbagai aspek kehidupan nyata, memengaruhi dinamika sosial dan politik masyarakat secara signifikan. Di ranah politik, polarisasi dapat menjadi pemicu konflik horizontal antar kelompok masyarakat, terutama ketika perbedaan pandangan politik dibingkai sebagai pertarungan antara “kami” dan “mereka.”

Situasi ini kerap menciptakan ketegangan menjelang dan selama proses pemilu, di mana wacana publik menjadi semakin tegang, penuh kecurigaan, bahkan berujung pada kekerasan verbal maupun fisik. Polarisasi juga mempersulit tercapainya konsensus kebijakan, karena masyarakat dan elite politik cenderung lebih fokus mempertahankan posisi ideologis masing-masing ketimbang mencari solusi bersama.

Sementara itu, dalam kehidupan sosial sehari-hari, dampak polarisasi digital terasa dalam bentuk terganggunya “relasi antarindividu”. Perbedaan pandangan politik atau ideologi yang dulu dianggap wajar kini bisa menjadi sumber konflik personal yang serius. Tidak jarang, hubungan antara teman dekat, rekan kerja, bahkan anggota keluarga menjadi “renggang” atau retak hanya karena perbedaan sikap terhadap isu tertentu yang dibahas di media sosial.

Lingkungan sosial yang sebelumnya inklusif dan toleran berubah menjadi eksklusif dan penuh prasangka. Polarisasi menciptakan batas-batas sosial yang kaku dan mengikis kemampuan masyarakat untuk membangun empati dan dialog lintas perbedaan. Dengan demikian, polarisasi digital bukan sekadar fenomena komunikasi daring, tetapi merupakan gejala sosial yang dapat melemahkan fondasi demokrasi dan kohesi sosial jika tidak segera ditangani secara serius.

Upaya Mengatasi Polarisasi Digital:

Untuk meredam polarisasi digital yang kian menguat, terdapat beberapa pendekatan strategis yang dapat diterapkan secara bersamaan. Pertama, peningkatan literasi digital menjadi fondasi utama. Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan untuk mengenali bias informasi, mengevaluasi kredibilitas sumber, serta mengembangkan kemampuan “berpikir kritis”. Hal ini penting agar individu tidak mudah terjebak dalam disinformasi atau ruang gema digital yang hanya memperkuat pandangan sepihak. Seperti yang dikemukakan oleh Wardle dan Derakhshan (2017), literasi informasi merupakan pertahanan utama dalam menghadapi tantangan era informasi yang kompleks ini.

Kedua, perlu dilakukan desain ulang algoritma pada platform digital. Saat ini, banyak algoritma media sosial dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, tanpa mempertimbangkan dampak sosial jangka panjangnya. Akibatnya, konten yang bersifat provokatif atau ekstrem justru lebih sering muncul karena dianggap lebih menarik perhatian. Gillespie (2018) menyoroti pentingnya tanggung jawab sosial dalam desain sistem algoritmik, agar platform tidak sekadar berorientasi pada interaksi, tetapi juga berkontribusi terhadap kualitas kepentingan publik.

Ketiga, diperlukan upaya untuk mendorong dialog antar kelompok yang berbeda pandangan. Ruang-ruang dialog yang inklusif dan moderat harus diperluas, baik secara daring melalui forum dan media sosial, maupun secara luring melalui diskusi komunitas dan forum tatap muka. Dengan membiasakan masyarakat untuk “berdiskusi secara sehat dan terbuka” terhadap keberagaman pandangan, potensi polarisasi dapat ditekan.

Pendekatan ini tidak hanya membangun toleransi, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dalam masyarakat yang plural. Polarisasi dalam masyarakat digital bukan sekadar perbedaan pendapat yang wajar dalam demokrasi, melainkan suatu kondisi ekstrem yang dapat mengikis persatuan sosial dan melemahkan kekuatan kolektif masyarakat. Dampaknya tidak hanya terasa dalam relasi antarwarga, tetapi juga dalam “fungsi strategis masyarakat” sebagai pengawas kebijakan dan pelaksana demokrasi yang sehat.

Lebih jauh, polarisasi menyebabkan hilangnya ruang dialog dan kesepahaman. Ruang publik yang seharusnya menjadi tempat bertukar pikiran berubah menjadi arena konflik. Perbedaan pendapat tidak lagi dilihat sebagai bagian dari kekayaan demokrasi, melainkan dianggap sebagai ancaman yang harus dilawan. Hal ini menghambat terbentuknya konsensus sosial yang sangat dibutuhkan untuk membangun gerakan kolektif dan menyelesaikan “masalah bersama.”

Dalam jangka panjang, kondisi ini menimbulkan tumpulnya kekuatan kolektif masyarakat. Energi publik yang seharusnya diarahkan untuk mengawasi jalannya pemerintahan justru habis dalam konflik horizontal antarwarga. Akibatnya, berbagai isu penting seperti ketimpangan kebijakan publik, penyalahgunaan kekuasaan, atau praktik korupsi menjadi terabaikan. Masyarakat menjadi lemah dalam menjalankan peran kontrol sosialnya terhadap penguasa.

Situasi ini makin diperparah ketika kemampuan masyarakat untuk mengkritisi pemerintah ikut melemah. Pemerintah yang tidak demokratis bisa memanfaatkan polarisasi sebagai alat untuk membungkam kritik. Kelompok-kelompok yang menyuarakan keprihatinan atas kebijakan pemerintah dengan mudah dicap sebagai lawan politik atau musuh negara. Dengan demikian, wacana publik terseret ke dalam konflik identitas, sementara substansi kebijakan luput dari perhatian.

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa polarisasi melemahkan daya tawar rakyat. Ketika masyarakat terpecah dan tidak bersatu, kekuatan sosial untuk menuntut perubahan, memperjuangkan keadilan, atau menegakkan akuntabilitas menjadi sangat terbatas. Inilah sebabnya mengapa polarisasi bukan hanya menjadi ancaman bagi keharmonisan sosial, tetapi juga bagi keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Masyarakat yang tidak bersatu akan selalu kalah dalam menghadapi kekuasaan yang terorganisir.

Polarisasi di era digital merupakan tantangan besar yang tidak bisa diabaikan. Teknologi digital memiliki kekuatan besar untuk membentuk opini dan perilaku, namun tanpa pengelolaan etis dan partisipasi masyarakat yang kritis, teknologi justru memperdalam perpecahan. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, penyedia platform, akademisi, dan masyarakat sipil untuk memastikan ruang digital menjadi arena yang mendukung keterbukaan, toleransi, dan demokrasi.

Maka dari itu, penting bagi kita untuk kembali membuka ruang dialog yang sehat. Kita perlu belajar mendengarkan, bukan hanya membalas. Beda pendapat bukan musuh demokrasi, justru itu napasnya. Tapi ketika perbedaan dibungkus dengan kebencian, yang rugi bukan hanya lawan debat kita yang rugi adalah kita semua. Mari kita jaga ruang digital sebagai tempat berbagi, bukan berperang. Karena di tengah dunia yang semakin terhubung ini, persatuan bukan pilihan, ia adalah kebutuhan.

Penulis:
Zaid Amin, Ph.D.

Dosen Teknk Informatika, Universitas Bina Darma

Pakar Human-Computer Interaction (HCI) dan Teknologi Persuasif

Email: zaiamin@binadarma.ac.id

Pos terkait