Gaji Rp 5 Juta hingga Transaksional Parpol, Picu Suburnya Korupsi Kepala Daerah

INDODAILY.CO, PALEMBANG – Besaran gaji pokok seorang kepala daerah hingga sistem transaksional dari sejumlah partai politik, memicu makin suburnya tindakan korupsi dari seorang kepala daerah.

Bahkan menurut Dekan Fakultas FSIP Universitas Sriwijaya, Prof DR Alfitri, MSi secara tidak langsung negara dan para elit politik justru makin menyuburkan aksi kepala daerah, entah itu Gubernur, Walikota dan Bupati di Sumsel.

Sudah bukan rahasia umum lagi, kini di Sumsel fenomena usai lengser seorang kepala daerah malah berujung masuk Penjara, sebut saja, mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin dan SO. Dan terbaru, eks Bupati Banyuasin, Dodi Reza, malah terjaring di jelang akhir kepemimpinan di Banyuasin.

Fenomena tersebut, dilihat Alfitri, sebagai gunung es yang justru mencair di akhir kepemimpinan seorang Kepala daerah. Tuntutan sistem dan aturan negara serta parpol yang menekan seorang Kepala daerah untuk melakukan penyelewengan anggaran hingga gratifikasi.

Alfitri mengatakan, ia mencontohkan gaji pokok seorang Kepala daerah berkisar Rp5 juta, jauh diatas gaji seorang komisaris di perusahaan yang bisa capai Rp150an juta. Sementara, kebutuhannya sangat besar.

“Dengan gaji pokok Rp5 juta, mereka dituntut harus setoran atau sumbangan ke partai pengusung. Ini jumlahnya sangat besar tiap bulan. Belum lagi memenuhi kebutuhan operasional lainnya selama memimpin daerah. Tidak seimbang kita lihat,” ujar Alfitri saat diwawancarai Indodaily.co, Selasa (22/11/2021).

Alfitri menjabarkan, bahwa kondisi tersebut, secara tidak langsung, negara dan parpol ikut bertanggungjawab lantaran sistem seperti itu. Coba keadaan di balik, lanjut dia, misal negara mengapresiasi penghasilan kepala daerah minimal sama dengan seorang Komisaris, tentu budaya korupsi bisa lambat laun terkikis.

“Kondisi seperti itu yang terus berjalan, seakan menjadi kebiasaan. Aksi balas dendam dari lawan politik terkait dengan waktu penangkapan menjadi skenario yang memperburuk keadaan,” ucapnya.

Seharusnya, meski memang butuh waktu, buat aturan baru dengan mengubah sistem besaran gaji hingga menghapus sistem transaksional parpol. Lembaga KPK juga dianjurkan lebih mendidik masyarakat dan Kepala daerah agar bisa mengatur semua sistem agar tindakan pencegahan lebih dititik beratkan.

“Kuatkan edukasi bagaimana mengatur dan melakukan pengawasan simultan, bisa juga ke masyarakat untuk menekan gratifikasi juga. Jadi jangan asal tangkap saja,” katanya.

Sementara, Anggota DPRD Banyuasin, Nassir justru berpendapat lain. Fenomena usai jadi raja lalu lengser ke penjara justru dipicu berbagai faktor. Yang terpenting adalah mental dan moral, teledornya pengawasan Kepala daerah dengan sistem kerja jajaran dibawahnya, mulai dari Kepala Dinas hingga tingkatan Camat.

“Faktor utamanya karena mental dan moral. Jika niat membangun tidak ada, rasanya sulit jauh dari Korupsi, apalagi melihat banyaknya dana APBD,” ungkap Nassir.

Namun, ada juga karena keteledoran sendiri lantaran lemahnya pengawasan di internal bawah. Dia mengilustrasikan seorang Kepala Daerah yang jarang turun ke lapangan, asal dengar laporan saja dari anak buah. Parahnya lagi anak buah juga cuma mendengar laporan juga dari jajaran di bawahnya lagi.

“Jadi ada kesalahan berlapis. Bagaimana dia bisa menyusun anggaran tanpa mereka tahu kebutuhan masyarakat. Asal comot program dari dana APBD. Satu yang bersalah, kesalahan jadi seperti berjemaah. Ini namanya lalai,” terangnya.

Nassir menyebut, seharusnya, tanggungjawab seorang Kepala Daerah itu sudah bisa terukur sejak yang bersangkutan mencalonkan diri. Dengan sistem dan aturan yang sudah ada dari pemerintah maupun parpol, seharusnya kepala daerah sudah tahu dan bisa mengukur diri diawal, mampu atau tidak menjalankan tanggungjawab dengan aturan yang sudah ada.

“Harus bisa mengukur diri sejak awal bro, kalau soal gaji, kan sejak awal aturan UU sudah tahu, aturan partai sudah ada. kalau tidak mampu, seharusnya jangan mencalonkan diri,” tuturnya.

Menurutnya, justru sangat tidak realistis jika hanya menuntut kenaikan gaji saja karena dalam situasi seperti ini. Justru Pemerintah melakukan banyak sekali refussing anggaran dan aturan sistem penggajian langsung dari Menteri Keuangan (Menkeu RI).

“Saya melihat dari penggunaan anggaran APBD saja, seperti di Banyuasin hampir 30 persen dari APBD itu untuk belanja pegawai. Itu untuk penggajian saya lihat gaji Kepala Daerah sudah lebih dari cukup, belum lagi belanja barang dan jasa instansi. Dua ini saja sudah lebih dari cukup,” imbuhnya.

Nassir menambahkan, pihaknya mengimbau konsekuensi menjadi Kepala daerah itu harus dipahami secara detail sejak awal, apa dampak positif dan negatifnya. Jangan sampai karena kadung sudah masuk dalam pusaran pemerintah malah menyalahkan sistem yang tak berpihak.

“Sekali lagi beban moral dan beban mental harus siap sejak dini agar bisa menjadi lebih bertanggungjawab dalam menjalankan pemerintahan,” tandasnya (Why).

Pos terkait