Kado Pahit Hari Anak Nasional, Lamtiar S: Bagi yang Lahir dan Hidup Dibalik Jeruji Penjara

Ilustrasi foto anak yang lahir dan hidup dibalik jeruji besi, foto: istimewa.

INDODAILY.CO, JAKARTA — Peringatan Hari Anak Nasional seharusnya dirayakan sebagai wujud kepedulian, perlindungan dan pemenuhan hak anak diseluruh Indonesia. Namun, sepertinya perayaan Hari Anak Nasional 2022 belum berpihak kepada para malaikat kecil yang terpaksa lahir dan hidup bersama dengan ibunya dibalik jeruji penjara.

Pada tanggal 7 Juli 2022 lalu, DPR telah mensahkan revisi Undang-undang (UU) Pemasyarakatan dimana pada pasal 62 disebutkan bahwa anak yang lahir dari ibu narapidana dalam Lapas dan Rutan dapat tinggal bersama ibunya sampai usia tiga tahun. Sebelumnya masa tinggal ini hanya sampai dua tahun.

Pertanyaan besar muncul, mengapa masa tinggal anak bersama dengan ibunya dalam Lapas dan Rutan diperpanjang? Ini menjadi catatan gelap kemunduran perlindungan anak Indonesia.

“Lapas dan Rutan bukanlah tempat yang baik bahkan adalah tempat yang buruk untuk menjadi tempat hidup seorang anak. Memang sekilas kita lihat hal itu dapat berdampak positif bagi anak karena anak membutuhkan bonding dengan ibunya, tetapi ada resiko atau dampak negatif yang lebih besar jika anak hidup bersama dengan ibunya dalam penjara,” ujar Lamtiar Simorangkir, sutradara dan produser film ‘Invisible Hopes’.

Invisible Hopes adalah sebuah film pertama di Indonesia yang mengungkapkan tentang kehidupan memprihatinkan para narapidana hamil serta anak-anak yang terpaksa lahir dan hidup dibalik jeruji penjara.

Salah satu kelemahan utama dari undang-undang yang ada saat ini adalah kurangnya alternatif untuk penempatan bayi yang lahir dalam penjara. Pilihanya hanya ada dua yaitu dimbil keluarga diluar penjara atau hidup bersama dengan ibunya dibalik jeruji penjara seperti narapidana.

“Seperti yang kami ungkapkan didalam film Invisible Hopes, kebanyakan dari para narapidana hamil dan ibu bayi tidak mempunyai keluarga diluar penjara yang mau ataupun sanggup untuk membesarkan anak mereka diluar penjara. Akhirnya pilihan terakhir adalah membawa anak tersebut hidup bersama dengan ibunya dalam Lapas atau Rutan,” ucap Lamtiar S.

Negara tidak menyediakan alternatif lain untuk pengasuhan anak tersebut ketika support system keluarga tidak berfungsi dengan baik. Bukan memperpanjang masa anak tinggal dalam penjara yang diperlukan tetapi memperbaiki kondisi dalam penjara supaya layak bagi tumbuh kembang seorang anak atau memberikan alternatif pengasuhan yang lebih baik.

“Seorang anak tinggal dalam penjara yang sempit, terampas kebebasannya, terisolasi dari dunia luar, pergaulannya sehari-hari orang dewasa yang adalah narapidana dan kebutuhan hidup mereka tidak dijamin oleh negara, itu bukanlah tempat yang baik untuk tempat tumbuh kembang seorang anak,” kata Lamtiar.

Hal itu di aminkan oleh seorang ibu berinisial A, yang pernah membesarkan anak dalam penjara dan sekarang sudah bebas.

“Yang utama itu perlu diperhatikan kebutuhan anak dan ibu hamil, terutama makanan dan layanan kesehatan anak-anak. Pelayananan kesahatan anak  diperbaiki dan kalo bisa gratis. Kasihan buat yang tidak punya uang. Belum tentu juga semua anak fisiknya kuat apalagi tinggal dalam ruangan kecil, serba terbatas,” ungkap ibu A.

Menurut ibu A, justru kesehatan anak-anak dalam Lapas harus lebih diperhatikan dibandingkan anak-anak diluar penjara karena mereka tinggal dilingkungan yang berat.

“Makanannya aja hanya bubur, nggak ada sayur. Tempat bermain nggak ada, jam keluar masuk sel anak sama dengan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), jam lima harus sudah masuk keong (sel), dikunci. Kalo anaknya masih pengen main ya nggak bisa karena sempit. Pokoknya saya tidak setuju kalo masa anak tinggal dalam Lapas diperpanjang,” tutur ibu A.

Masih kata ibu A, soalnya tiga tahun otak anak sudah sangat mudah mencerna apa yang dia lihat. Semakin lama dia tinggal dalam penjara semakin lama melihat perilaku yang aneh-aneh seperti sentulan (pacaran sesama jenis), merokok, pokoknya kehidupan orang dewasa yang tidak baik untuk anak.

“Memang perlu banget anak dekat sama ibu, tapi itu kalo kondisinya memungkinkan. Kalo memang DPR memutuskan diperpanjang sampai 3 tahun, diperhatikan dong masalah kelayakan tempat dan pelayanan kesehatan,” imbuh ibu A.

Hal senada juga disampaikan oleh ibu berinisial K, yang telah dua kali mengalami membesarkan anak dalam penjara. Ibu K telah dua kali masuk penjara dan setiap kali masuk penjara dalam keadaan hamil.

“Kaget sih mendengar diperpanjang masa tinggal anak menjadi tiga tahun. Kalo diperpanjang, fasilitasnya terjamin nggak? Kalo nggak terjamin dan sistemnya sama seperti ketika masa tinggal anak dua tahun, buat apa? Untuk mendapatkan kebutuhan anak saja kita sulit karena nggak bisa bebas membeli keluar. Jika beli di koperasi didalam Lapas harganya bisa dua kali lipat dibandingkan diluar,” sebut Ibu K.

Ibu K menuturkan, misalnya beli popok atau susu anak diluar hanya lima puluh ribu, di Lapas bisa sampai seratus ribu. Kalo pihaknya mau nitip ke petugas atau kepada orang yang berkunjung upahnya mahal, minimal lima puluh ribu. Tidak mungkin kita kasih upah ke petugas hanya 5-10 ribu.

“Makanya kita bingung. Ya tapi namanya juga penjara, ya begitulah kerasnya kehidupan penjara. Emang sih ada baiknya kalo diperpanjang. Kalo hukuman ibunya lama dan anaknya duluan keluar terus si ibunya tidak tahu mau menitipkan anaknya ke siapa kan jadi masalah,” sambung ibu K.

Ibu K mengungkapkan, contohnya dirinya perbedaan anak yang pertama keluar penjara dengan ia bebas hanya beberapa hari, dengan anak yang kedua hanya 3 bulan tapi itupun tidak boleh keluar bareng, karena anaknya tetap harus keluar duluan nggak boleh bareng sama ia (Ibu K_Red).

“Seandainya, kalo tadinya masa anak tinggal dalam Lapas tiga tahun kan jadinya saya bisa pulang bareng anak. Kalo buat saya diperpanjang 3 tahun tidak masalah asalkan kondisi dalam penjara diperbaiki, kalo tidak mendingan cepat-cepat keluar deh. Kasihan, terutama buat yang nggak sanggup membiayai kebutuhan anaknya dalam penjara,” kata ibu K.

Menurutnya, kalo para ‘pemain besar’ yang punya uang sih enak, mereka bisa membiayai kebutuhan hidup anaknya dalam penjara, bisa bayar untuk mendapatkan kamar yang lebih bagus. Tapi kan jarang yang bisa begitu.

Sementara, Lamtiar menyatakan bahwa selama proses pembuatan film Invisible Hopes menemukan banyak diantara anak-anak yang tinggal dalam penjara mengalami kekerasan (phisik dan verbal), baik dari ibunya sendiri ataupun narapidana lain bahkan dari petugas.

“Dalam penjara sudah pasti budaya kekerasan itu ada. Jadi jika anak tinggal bersama dengan ibunya belum tentu terjadi bonding yang sehat. Permasalahan anak tinggal dalam penjara bersama dengan ibunya membutuhkan pertimbangan dan penelitian yang komprehensif, tidak bisa terburu-buru atau hanya mendengarkan pendapat atau permintaan satu pihak saja,” tambah Lamtiar.

Karena, masa usia sampai tiga tahun adalah masa dimana anak belajar melalui mencontoh. Jika anak hidup dengan melihat hal-hal yang tidak baik dalam penjara maka akan sangat besar kemungkinan mereka akan meniru kehidupan penjara.

“Secara kebutuhan phisik, sosial dan psikologis, penjara bukanlah tempat yang baik untuk tumbuh kembang seorang anak. Jadi kalo ketemu sama orang-orang yang mengusulkan ditambah masa tinggal anak dalam Lapas, bilangin sampai gede aja sekalian. Tanggung,” ungkap ibu A dengan nada sarkastik.

Tema Hari Anak Nasional 2022 adalah, ‘Anak terlindungi, Indonesia maju’. Pertanyaan besar muncul, “Apa yang telah masyarakat dan terutama pemerintah lakukan untuk melindungi anak-anak masa depan bangsa yang lahir dan hidup dibalik jeruji penjara?,” tandasnya.

Link trailer film Invisible Hopes: https://youtu.be/3J-tLP7vpqY

Link malam anugerah FFI: https://youtu.be/STbwu9LwAag.

Pos terkait