Satu Jam Sebelum Sidang, Harapan Istri Eddy Hermanto Buyar

INDODAILY.CO, PALEMBANG – Satu jam sebelum sidang dengan agenda pembacaan Pledoi empat tersangka dugaan kasus korupsi Masjid Sriwijaya di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Kelas IA Palembang, Jumat (5/11) membuyarkan harapan Adis, istri Eddy Hermanto, salah satu terdakwa.

“Ketika tiba di Pengadilan, baru diberitahu bahwa pledoi bapak dibacakan melalui online. Padahal saya ingin sekali bertemu bapak. Alhamdulillah saya lihat bapak sangat sehat dari televisi tadi,” ujar wanita yang tak pernah absen selama persidangan mendampingi suaminya.

Wartawan Indodaily, di sela-sela jedah waktu istirahat persidangan, langsung menghampiri wanita berkulit putih ini. Dia terus berupaya mengembang senyum saat ditanya bagaimana perasaannya saat ini. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya.

“Sangat dan sangat ihklas, semua saya serahkan sama Allah. saya berdoa, apapun hasil keputusan nanti, berarti ini adalah takdir yang harus kami jalani,” ucap Adis.

Dia bercerita, selama proses persidangan berlangsung, justru suaminya yang sering menguatkan dia, anak-anak dan cucunya. Ketegaran Eddy Hermanto, inilah yang membuat Adis dan keluarga yang lain mengikhlaskan apapun keputusan terpahit hasil persidangan, kelak.

Bacaan Lainnya

Pensiunan PNS Kota Palembang ini pun, mengaku hikmah terbesar yang dirasakan selama bergulirnya kasus suaminya, bahwa ketika Allah berkehendak, apapun bisa terjadi, dan dia berharap kenyataan dihadapannya bisa berubah ketika dengungan doa secara rapat terus disematkan usai shalat Tahajud dan Duha yang tak pernah absen dilakukan, selain solat wajib lima waktu.

“Kita sekeluarga hanya berharap ada kemukjizatan kebenaran sehingga kasus ini menjadi jelas. Diputus bersalah atau tidak bapak, tetap saja bapak adalah kebanggaan kami,” ungkapny.

Sedangkan Eddy Hermanto, selama hampir 15 menit membacakan pledoi dari Rutan Kelas IA Pakjo, terlihat tak kuasa lagi menahan tangis saat menyebut tuntutan 19 tahun dari JPU, sangat tidak adil bagi dia dan keluarganya. Kasus ini telah mencoreng nama dan reputasinya. Bahkan menghantam psikis keluarganya hingga membatasi haknya untuk bisa menghabiskan hari tuanya dengan keluarga.

“Apa yang dia lakukan dalam proyek pembangunan masjid Sriwijaya sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Semua fakta persidangan juga dianggapnya tak satu orang pun yang bisa membuktikan kesalahan prosedur yang dia lakukan,” imbuhnya.

Justru, dia menyebut tuntutan Jaksa lebih kepada penggiringan opini yang sifatnya dipaksakan. Terlebih dari dasar perhitungan yang dijadikan patokan kerugian negara dari pakar atau akuntan publik dari Universitas yang justru bukan berada di Palembang.

Penentuan itu bahkan menentang dari pernyataan dari saksi ahli terkait lembaga-lembaga mana saja yang berkompeten dan diakui negara bisa dijadikan patokan perhitungan kerugian negara.

“Ketika semua orang ingin menghabiskan hari tua, berkumpul dengan keluarga, bermain dengan anak dan cucu, menghabiskan waktu pensiun setelah bertahun-tahun bekerja mengabdikan diri menjadi abdi negara, lalu bagaimana saya menjalani hari tua saya dengan umur saya saat ini 66 tahun, dengan ancaman kurungan 19 tahun pak Hakim. Sampainsaay ini pun saya bingung apa salah salah saya. Istriku, Anak-anakku, saya tahu kalian iklas dan sangat kuat. Sekali lagi papa minta maaf. Papa duduk disini untuk membuktikan kebenaran di mata hukum. Yakinlah bahwa suatu saat kita akan berkumpul bersama lagi,” bener Eddy lirih.

Beberapa menit dia terdiam usai membacakan pledoi yang dia tulis sendiri di rutan.
Matanya memerah dan beberapa kali Eddy membetulkan kacamatanya.

Melihat itu, Adis pun terlihat menahan tangis. Dari balik masker abu-abu dimulutnya, Adis langsung menyandarkan kepalanya ke bahu salah satu kerabat. Keluarga lainya tampak menepuk bahu Adis berupaya menguatkannnya.

Persidangan diketuai majelis hakim Sahlan Effendi SH MH didampingi Abu Hanifah SH MH mempersilakan keempat terdakwa melalui kuasa hukumnya menyampaikan eksepsi atau keberatan atas dakwan tim JPU dari Kejati Sumsel.

Salah satunya Nurmala SH MH selaku Penasehat Hukum (PH) terdakwa EH, mengatakan bahwa perjanjian antara Masjid Sriwijaya dan PT A, ini berawal dari perjanjian, bila terjadi ada pelanggaran atau penyalah gunaan, maka masuk wanprestasi atau tidak sesuai perjanjian.

“Kemudian dakwaan JPU kabur atau obscuur libel, karena JPU menggunakan dakwaan komulatif, pasal 2, pasal 3, pasal 11 tapi menggunakan uraian dakwaan penuntut umum dan pasal 2,3 dan 11 itu sama. Padahal masing-masing unsur pasal itu berbeda. Jadi rumusan deliknya tidak jelas,” tegasnya.

Kemudian peran terdakwa 1 dan 2 telah merugikan keuangan negara, sebesar Rp 116,9 miliar lebih. Disitu atas perbuatan terdakwa 1 dan 2 disimpulkan, padahal dalam perkara ini ada terdakwa-terdakwa lain. Tidak hanya klien kami EH dan SF dijelaskan mereka berdua merugikan keuangan negara.

“Kabur dakwaanya karena dana hibah, dana hibah apabila sudah diterima penerima yakni Yayasan Masjid Sriwijaya maka murni jadi kekayaannya. Begitu sudah berada di rekening yayasan maka itu adalah hak kekayaan yayasan, yang tidak tunduk lagi dengan undang-undang angaran keuangan negara. Sesuai dengan pasal 26 tentang Undang-Undang Yayasan, bahwa kekayaan yayasan dapat, dari dana hibah, hibah wasiat maupun sumbangan lain,” jelasnya.

Kekayaan milik yayasan tidak bisa dipindahkan atau ditarik pihak lain. “Dana hibah ini kan tidak langsung begitu dia keluar dari kas daerah selesai. Ini adalah masuk ranah Yayasan Masjid Sriwijaya,” cetusnya.

Ketiga, perhitungan kerugian dihitung Universitas Tadaluko, seyogyanya diserahkan kepada yang berkompeten atau BPKP.

“Tapi dalam hal ini dilakukan Universitas Tadaluko kami pertanyakan, mempertanyakan kepada klien kami. Apakah ada melakukan klarifikasi pada terdakwa dan saksi tidak dilakukan audit investisigatif, sehingga tidak sampai pada tahapan audit sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh pihak kompeten, ini tidak memenuhi standar yang kompeten,” terangnya.

Mengenai pertanggungjawaban penggunaan dana hibah, sepenuhnya menjadi kewenangan yayasan.

“Dalam hal ini pengurus yayasan,  pertanggungjawabannya bukan tunduk pada aturan keuangan daerah. Tetapi tanggung jawab penggunaan, apakah sesuai atau tidak. Misalnya untuk membangun masjid tapi dibangunkan untuk yang lain, itu namanya menyimpang, bukan tindak pidana tipikor tapi masuk penipuan,” terang Nurmala.

Terkait dana hibah Rp 50 miliar, bahwa anggaran dana hibah Rp 50 miliar itu dari anggaran tahun 2015, yang disahkan anggaran tahun 2014.

Artinya sudah diketahui, dari pengesahan anggaran APBD tahun 2014. Kenapa harus dilakukan duluan, sebab sumber pembangunan masjid ini, tidak mengacu pada Sumber APBD, ada pihak ketiga, ada swasta boleh dia menerima pada sumber APBD Sumsel tapi dari pihak lain juga. Sehingga tidak harus menunggu MPHD, mengacu pada kepres dan perpres, sebagaimana dakwaan JPU,” urainya.

“Setahu saya NPHD Rp50 miliar, tetapi kenapa prosesnya tidak tunduk pada itu, sebab begitu diterima ini mekanisme hibah mengacu pada keuangan negara. Tetapi begitu pidah dana pindah ke rekening yayasan, maka menjadi kekayaan yayasan,” tegasnya.

Awalnya kan naskah perjanjian dana hibah daerah atau NPHD, baik tahun 2015 dan 2017. “Kalau perjanjian dilanggaran tidak melakukan prestasi atau tidak sesuai perjanjian. Maka masuk rannah hukum perdata melanggar perjanjian, hanya mengikat dua pihak masuk ranah pidana,  wanprestasi. Jadi pihak Tipikor tidak berwenang mengadili.

“Harapan eksepsi dikabulkan, karena dari dakwaan JPU banyak sekali celah-celah dikabulkan, kalau eksepsi dikabulkan bebas dari dakwaan,” tukas Nurmala.

Dalam pembacaan eksepsi hakim menghadirkan empat terdakwa secara online. Mereka adalah EH yang mendekam di Rutan Pakjo kelas IA Palembang, merupakan pensiunan PNS eks kepala dinas Ciptakarya.  Lalu terdakwa SF, pegawai PNS di Ogan Ilir dan panitia lelang Masjid Sriwijaya. Kemudian terdakwa DK selaku Dirut Operasional PT BE, serta terdakwa YD dari PT BE. (Why).

Pos terkait