Suara Golput Disabilitas di Musi Banyuasin Berpotensi Tinggi di Pemilu 2024

Salah satu penyandang disabilitas tunadaksa menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019 lalu (Dok. Humas PPDI Muba / Nefri Inge)
Salah satu penyandang disabilitas tunadaksa menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019 lalu (Dok. Humas PPDI Muba / Nefri Inge)

INDODAILY.CO, PALEMBANG – Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu, menjadi pengalaman yang buruk bagi para disabilitas di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) Sumatera Selatan (Sumsel).

Hak-hak suaranya yang harusnya bisa disalurkan untuk mendukung di Pemilu 2019, harus hilang begitu saja. Sarana dan prasarana (sapras) yang tidak disediakan, membuat mereka kesulitan untuk menyalurkan suaranya dan akhirnya terpaksa menjadi golongan putih (golput).

Ketua Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Muba Sumsel Sudarman mengatakan, jumlah disabilitas mencapai 1.000-an orang dari 15 kecamatan di Kabupaten Muba Sumsel.

Namun melihat Pemilu 5 tahun lalu, para disabilitas banyak yang tidak bisa menggunakan hak suaranya, karena sapras yang tidak memadai di Tempat Pemungutan Suara (TPS), seperti kursi roda atau tongkat.

Bahkan yang parahnya lagi, penyandang tunanetra yang benar-benar buta akan siapa yang dipilihnya. Mereka tidak mendapatkan surat suara menggunakan huruf braille.

Bacaan Lainnya

“Kalau untuk tunanetra (surat suara braille) belum ada dan belum termonitor. Hanya diarahkan oleh petugas dan dibimbing oleh keluarganya untuk mencoblos. Jika tidak ada keluarga, hanya dari petugas PPS saja, jadi mereka tidak bisa merahasiakan siapa yang mereka pilih,” katanya kepada Indodaily.co, Senin (6/11/2023).

Walau percaya dengan petugas PPS yang datang ke rumah, namun mereka berharap KPU Muba bisa menyediakan surat suara braille agar mereka bisa memilih sosok pemimpin yang sesuai keinginannya.

Namun tak sedikit para disabilitas terutama penyandang tunanetra, yang memilih tidak mencoblos karena tidak adanya sapras yang memadai. Bahkan jumlahnya cukup tinggi, sehingga banyak hak suara yang tidak tersalurkan di 15 kecamatan di Muba Sumsel.

“Kalau dari KPU, belum ada sosialisasi untuk penyandang tunanetra. Kalau dulu, mereka kebanyakan tidak mencoblos. Selain fasilitas tidak memadai, ada juga yang belum terdata atau undangan untuk pencoblosan tidak sampai. Padahal mereka ada KTP. Sekarang mereka hanya pasrah saja, walau masih berharap bisa menyalurkan hak suaranya di Pemilu 2024 nanti,” ujarnya.

Dari data PPDI Muba, ada sekitar 80 persen disabilitas yang berasal dari masyarakat kurang mampu dan berpendidikan rendah. Ditambah lagi data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Muba, angka stunting yang tinggi di Muba. Sehingga mereka membutuhkan edukasi dan sosialisasi yang intens dari KPU tentang Pemilu 2024.

Salah satu penyandang disabilitas tunadaksa menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019 lalu (Dok. Humas PPDI Muba / Nefri Inge)
Salah satu penyandang disabilitas tunadaksa menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019 lalu (Dok. Humas PPDI Muba / Nefri Inge)

Jumlah disabilitas di Muba yang paling banyak berada di kawasan Sekayu dan Kecamatan Lais. Ada juga kawasan yang agak jauh yakni di Kecamatan Rantau Panjang dan Lawang Wetan, yang berpotensi hak suara disabilitas tak bisa tersalurkan.

Ditambahkan Bendahara PPDI Muba Aswandi, KPU Muba berencana akan mengadakan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) untuk kebutuhan sapras disabilitas di TPS-TPS di Muba.

Namun hingga kini, belum ada kabar lanjutan terkait MoU tersebut. Sehingga mereka belum bisa memastikan, apakah sapras yang dibutuhkan disabilitas di Pemilu 2024 nanti bisa terpenuhi atau tidak.

“Kendala lainnya itu, kebanyakan keluarganya lebih tertutup untuk mengekspos data anggota keluarganya yang disabilitas. Jadi butuhnya sosialisasi yang intens dari pihak KPU, karena penting untuk mereka ikut pencoblosan. Jangan sampai suara mereka hilang, bahkan digunakan oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab,” ungkapnya.

Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Sumsel Massuryati mengatakan, data pemilih golput di Sumsel hanya 6,23 persen 17 kabupaten/kota di Sumsel saat Pemilu 2019 lalu.

Untuk penyandang disabilitas sendiri, diakuinya memiliki hak pilih yang sama sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan UU Nomor 7 tahun 2017. Sehingga

“Jadi setiap warga masyarakat Indonesia yang tidak diambil atau tidak dicampur hak pilihnya oleh pengadilan, kita mempunyai hak yang sama. Tidak ada perbedaan, One man, one vote, one value. Satu orang, satu. Dan satu nilainya juga sama,” katanya.

Bawaslu Sumsel sudah menggelar edukasi ke berbagai rumah disabilitas. Seperti Bawaslu Kota Prabumulih menyosialisasikan pencoblosan Pemilu di salah satu panti asuhan disabilitas.

Dia berharap, tidak ada lagi penyandang disabilitas yang tidak dipedulikan dalam menggunakan hak pilihnya.

Salah satu penyandang disabilitas tunadaksa menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019 lalu (Dok. Humas PPDI Muba / Nefri Inge)
Salah satu penyandang disabilitas tunadaksa menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019 lalu (Dok. Humas PPDI Muba / Nefri Inge)

“Kita menghimbau kepada masyarakat yang memiliki penyandang disabilitas, saudara-saudara kita itu untuk tetap berkontribusi dalam bentuk memilih pemimpin pada pemilihan yang akan datang. Jadi sangat-sangat penting peran-peran disabilitas ini kita gaet,” ujarnya.

Bawaslu Sumsel juga akan mengumpulkan data dan mengunjungi beberapa panti asuhan melakukan sosialisasi terkait dengan pemilih Pemilu 2024 ini.

Berdasarkan data KPU Sumsel pada pemilu tahun 2019, disabilitas di Sumsel berjumlah sekitar 6.629 orang. Yang terdiri dari disabilitas laki-laki dan disabilitas perempuan.

“Disabilitas yang menggunakan hak pilih itu laki-laki berjumlah 1.618 orang , yang perempuan berjumlah 1.893. Jadi totalnya 3.511. Lebih kurang partisipasinya 52,96% untuk pemilih disabilitas,” ungkapnya. ***

Pos terkait