INDODAILY.CO, CIAMIS – Musik degung di atas panggung yang sudah didekorasi dengan tema adat sunda, mengiringi aktivitas lebih dari 20 orang perempuan dan laki-laki yang sedang bersiap-siap untuk upacara mapag Mieling Ngadegna Galuh di Situs Karangkamulyan, Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijenjing, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Rabu (23/3/2022) pagi.
Mieling Ngadegna Galuh adalah sebuah acara tahunan yang digelar setiap tanggal 23 maret. Dan salah satu pagelaran seni budaya yang digagas oleh Komunitas Galuh Sadulur dan juga diprakarsai oleh keluarga Jambansari rundayan dari Kanjeng Perbu Rd. Adipati Aria Kusumadiningrat bupati Galuh ke-16 (1839-1886).
Para perempuan yang terbilang masih muda berpakaian kebaya dipadu samping (kain bercorak) itu terbagi dalam beberapa aktivitas yang berbeda, ada yang menyiapkan nasi tumpeng, buah-buahan, biji-bijian, rujak jaman dulu dan rampe (kembang 7 rupa).
Sedangkan para laki-laki sedang mempersiapkan dua buah benda berukuran 1 meter dan 2 meter, masyarakat menyebutnya dengan sebutan Dongdang (Dongdang ini merupakan simbol-simbol yang perlu diterjemahkan). Isi dari kedua dongdang tersebut juga berbeda. Kesatu berisi umbi-umbian dan yang kedua berisi sayur-sayuran.
Dongdang yang berisi umbi-umbian memiliki arti bahwa, jaman dahulu makanan pokok para leluhur selain dari nasi itu ada umbi-umbian seperti singkong yang bisa diolah menjadi Oyek (bahasa sunda yang berarti makanan pokok olahan dari singkong menyerupai nasi). Umbi-umbian adalah makanan sehat yang tidak mengandung kolesterol dan konsumsi para leluhur apalagi di acara-acara besar.
Kedua ada dongdang yang berisi sayur-sayuran, filosofisnya adalah para leluhur jaman dahulu, senang dengan menanam sayuran, sering memanfaatkan lahan untuk ditanami, jadi sekadar sayuran tidak harus beli ke pasar. Kemudian sayuran memiliki segudang vitamin untuk dikonsumsi anak-anak yang pertumbuhannya sedang berkembang.
Di sebuah sudut, Eyang Eem (Pimpinan upacara mapag Mieling Ngadegna Galuh) nampak turut sibuk merapihkan makanan di dalam nyiru (nampan besar berbahan anyaman bambu) dan boboko (tempat yang sering dipakai untuk mencuci beras dan wadah nasi).
Dalam bahasa Sunda, Eyang Eem menyebut, makanan yang disajikan begitu banyak tersebut untuk salametan (syukuran). Nasi tumpeng yang dibalut dengan rekaan berbagai makanan khas para leluhur menjadi menu utama salametan Mieling Ngadegna Galuh.
“Eta sakalian cau jeung kembangna geura diperenan (Itu sekalian pisang sama bunganya segera dibereskan),” ujar Eyang Eem sambil menyodorkan beberapa nyiru dan boboko kepada para perempuan muda berkebaya itu.
Upacara mapag ini dimaksudkan untuk menyambut perwakilan Raja Galuh dan seluruh masyarakat yang ikut menghadiri acara tersebut. Makanan yang disediakan dimulai dari tumpeng, buah-buahan, umbi-umbian dan biji-bijian pun setelah ditawasulkan memang untuk disuguhkan kepada para tamu yang hadir, walaupun saripati dari makanan tersebut memang diperuntukan atau menghormati para leluhur.
“Secara lahiriah makanan ini untuk dimakan kita semua yang hadir, namun saripatinya untuk para leluhur, tetapi kita tetap percaya kepada alloh swt,” ungkap Eyang Eem wanita paruh baya yang sudah berusia 60 tahun.
Raden Rasich Hanif Radinal, yang mewakili Kerajaan Galuh, menjelaskan acara tersebut berisi pementasan seni, helaran, dan upacara keagamaan (tawasulan dan ziarah ke makam leluhur). Biasanya acaranya digelar di situs Jambansari dan situs Karang Kamulyan Ciamis.
Kata ‘Mieling’ dalam bahasa Sunda sama artinya dengan kata memaknai dalam bahasa Indonesia. Sedangkan ‘Ngadeg’ dalam bahasa Sunda artinya adalah berdiri. Dan ‘ngadegna’ sama dengan arti berdirinya. Sementara Galuh sendiri adalah nama sebuah Kerajaan yang berpusat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan sudah eksis dari abad ke-6 Masehi.
“Menurut catatan sejarah, kerajaan Galuh yang waktu itu dipimpin oleh Ratu Galuh Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai raja pada tanggal 23 Maret 612 M (14 Suklapaksa – Paruh Terang, Bulan Catra/Setra Tahun 534 Saka), menjadi Raja/Ratu pertama. Berhasil berdaulat menjadi sebuah Negara baru, yang sebelumnya masih dalam bawahan Tarumanagara,” ucap Rd. Rasich Hanif Radinal kepada Indodaily.co Rabu (23/3/2022).
Wretikandayun adalah putra raja Kendan yang lahir pada 591 M dan menjadi pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Galuh pada tanggal 23 Maret 612 M, di usia 21 tahun. Saat Wretikandayun dinobatkan menjadi raja Kendan untuk menggantikan ayahnya, ia justru mendirikan ibu kota baru di Galuh.
Setelah menjadi raja, ia bergelar Maharaja Suradarma Jayaprakosa.
Pada 669 M, Wretikandayun akhirnya berhasil memerdekakan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara yang mengganti namanya menjadi Kerajaan Sunda. Dan Galuh mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Wastukancana (1371-1475 M).
Menurut Hanif, Mieling Ngadegna Galuh itu sebagai bentuk rasa syukur, penghormatan dan salah satu bentuk meneruskan spirit Galuh dalam benak putra Galuh (keturunan) dan masyarakat umumnya. Rentang panjang berdirinya kerajaan Galuh menjadi sebuah spirit bagi generasi sekarang untuk tetap merawat semangat dalam bingkai budaya.
Pagelaran Mieling Ngadegna Galuh menjadi penting dilakukan supaya generasi penerus tidak kehilangan jati diri kebangsaan, dan semakin memperkuat akar kebudayaan di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang terus mengikis nilai-nilai kearifan lokal.
“Maknanya adalah, untuk masyarakat yang masih peduli terhadap warisan dan titipan leluhur baik situs cagar budaya, falsafah, adat istiadat, tradisi dan seni budaya yang penting untuk dilestarikan. Sehingga estafet dan nilai ka-Galuhan yang tertanam dalam semboyan dan juga dalam prasasti batu tulis, petuah bijak karuhun bisa diimplementasikan dalam kehidupan nyata saat ini,” jelasnya.
Tawasul dan Doa Bersama di Area Pancalikan
Menjelang siang, sekitar pukul 09.30 WIB, perwakilan Kerajaan Galuh bersama masyarakat mulai berjalan kaki memasuki area Pancalikan (Singgasana) di dalam situs Karangkamulyan untuk melaksanakan tawasulan dan doa bersama diiringi dengan seba bakti atau penghormatan kepada leluhur dalam bentuk hasil bumi yang dibawa dalam dongdang, nyiru dan boboko.
Selesai doa, dilanjutkan dengan prosesi ngembang atau penaburan bunga ke batu pancalikan oleh perwakilan Kerajaan Galuh dan para tokoh adat lainnya. Selain itu ada artis kondang Paramitha Rusady yang ikut menaburkan bunga tersebut.
Setelah prosesi itu selesai, memasuki pukul 11.00 WIB, masyarakat kembali ke depan panggung untuk menyaksikan berbagai pertunjukan seni. Terdengar suara musik gamelan yang diiringi nyanyian sunda oleh perempuan yang memiliki suara merdu.
Tak hanya itu, terlihat di bawah panggung ada seorang gadis berparas cantik sedang menari jaipong yang diiringi musik gamelan dan hentakan-hentakan kendang.
Usai tarian dan nyanyian sunda, dilanjutkan dengan Kesenian Debus oleh beberapa orang. Banyak penonton merasa ngilu menyaksikan para pegiat seni debus yang sedang atraksi di atas panggung.
Debus adalah kesenian yang memanifestasikan kekuatan tubuh terhadap sentuhan senjata atau benda tajam dan pukulan benda keras. Dalam atraksi debus kerap kali menampilkan menusuk perut dengan golok dan menggores lidah dengan pisau. Atraksi yang tidak lazim dilakukan tetapi para pemainnya tidak terlihat kesakitan.
Mieling Ngadegna Galuh ke-1410 yang digelar tahun 2022 bertema ‘Purwa Carita Patimuan Kamulyaan’ dengan menggambil tema tersebut, Hanif Menjelaskan Purwa Carita atau cerita lama/awal terdahulu yang terinspirasi dari cerita sungai yang ada di Galuh, yaitu sungai Citanduy dan Cimuntur yang kemudian bertemu di sebuah tempat yang bernama Patimuan atau tempat bertemunya dua buah sungai yang ada di Situs Karangkamulyan.
“Banyak sekali legenda Galuh yang erat kaitannya dengan sungai, salah satunya Legenda Prabu Ciung Wanara yang semasa bayi pernah dibuang di Sungai Citanduy,” ucapnya.
Zaman dahulu, orang sunda disebut sebagai Urang Gunung (orang gunung) dengan simbolik Harimau, dan Urang Galuh(orang galuh) disebut sebagai Urang Cai (orang air) dengan simbolik Buaya.
Atau bisa membacanya dalam cerita rakyat “Sakadang Monyet (urang gunung) jeung sakadang Kuya (urang cai)”. Dalam kepercayaan dahulu, jika meninggal dunia, Urang Sunda di kurebkeun (dikubur) sedangkan urang cai (orang galuh) dilakukan prosesi pemakaman dengan cara abu jenazahnya dilarung ke sungai (Anwas Adiwijaya-1975).
Karena peradaban sungai di Galuh dahulu sangat berperan penting, baik untuk berniaga ataupun untuk melakukan transportasi.
Dikatakan Hanif, tema “Patimuan Kamulyaan” juga merujuk kepada nama tempat situs Karangkamulyan tempat berlangsungnya gelaran Mieling Ngadegna Galuh 1410. Kedua, Patimuan Kamuliaan diartikan tempat bertemunya para putra Galuh/patepang (bertatap muka) di Karang Kamulyaan. Dan yang ketiga Patimuan Kamulyaan secara esensi bermakna doa agar semua yang hadir di Karangkamulyan bisa bertemu dengan Kemuliaan sejati sebagai pribadi manusia unggul paripurna yang memegang teguh adat istiadat.
“Semoga dengan Mieling Ngadegna Galuh, yang bertajuk Purwa Carita Patimuan Kamulyaan menjadi sebuah momentum bagi para putra galuh, untuk kembali merefleksikan kesadaran ka-Galuhan yang bersumber dari cerita masa lalu dan meneruskan kembali spiritnya pada masa kini. Yaitu dengan cara merawat nilai-nilai warisan leluhur dan menumbuhkan kesadaran agar lebih mencintai alam, budaya dan segala potensi yang ada di lemah cai,” pungkas Hanif.