Presidensi G-20 dan Electric Vehichel

Komisaris PT PLN (Persero), Eko Sulistyo

INDODAILY.CO, JAKARTA — Posisi sebagai Presidensi G-20 adalah momentum strategis bagi Indonesia untuk mendorong agenda-agenda strategis global yang berdampak pada pemulihan yang lebih kuat dan berkelanjutan.

Salah satunya, Indonesia bisa mendorong komunitas internasional agar lebih agresif melakukan transisi energi bersih yang berkelanjutan. Transisi energi adalah salah satu dari tiga agenda Presidensi G-20 tahun ini, selain arsitektur kesehatan global dan optimalisasi ekonomi digital.

Dalam konteks transisi energi, Indonesia bisa menjadi faktor diferensiasi melalui implementasi skala besar penggantian bahan bakar fosil menuju energi hijau dan terbarukan.

Sebagai Presidensi G-20, Indonesia juga bisa menjadi mediator, terutama untuk negara-negara berkembang, mengingat persoalan setiap negara memiliki hambatan dan kebutuhan berbeda dalam transformasi sistem energi.

Dalam berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo sering mengingatkan, perlunya kerja sama global dalam menghadapi perubahan iklim dan transisi energi.

Bacaan Lainnya

Saat membuka Sidang Inter-Parliamentary Union (IPU) di Denpasar, beberapa hari lalu, diingatkan kembali ancaman perubahan iklim dan transisi energi yang kerap dibahas di forum global, belum menunjukkan hasil signifikan di lapangan. Untuk itu, Indonesia bisa memberi contoh implementasi dan capaian yang terukur.

Produksi EV dan Baterai

Salah satu jalan yang sudah ditempuh Indonesia adalah dengan membangun industri kendaraan listrik (electric vehicle, EV) dan baterai dalam skala besar. Pemerintah telah mentargetkan produksi EV sebanyak 600.000 unit roda empat dan 2,45 juta unit roda dua pada 2030. Dengan demikian Indonesia memiliki portofolio meyakinkan dalam transisi energi, dan menjadi benchmark dalam konteks Presidensi G-20.

Produksi EV secara masif akan menurunkan kadar emisi karbon dioksida 2,7 juta ton untuk roda empat dan 1,1 juta ton untuk roda dua. Pemerintah juga akan membeli 535.000 kendaraan listrik, baik roda empat maupun roda dua pada 2030. Langkah afirmatif akan dilakukan pemerintah dengan menyerap produksi EV, untuk digunakan di instansi pemerintah, termasuk di ibukota baru (IKN).

Indonesia juga telah berkomitmen melanjutkan pengembangan EV di dalam negeri, termasuk pengembangan industri pembuatan baterai EV. Peningkatan kandungan lokal terus didorong, sembari memberikan sejumlah insentif dan memangkas berbagai hambatan regulasi. Pengembangan EV dan baterai adalah bagian dari upaya Indonesia menuju netralitas karbon 2060.

Saat meresmikan pabrik mobil listrik Hyundai di Bekasi baru-baru ini, Presiden Joko Widodo mengatakan, kendaraan listrik harus menjadi moda transportasi utama di Indonesia. Peresmian pabrik mobil listrik menjadi rangkaian dengan pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik di Karawang, Jawa Barat. Dengan adanya pabrik baterai EV, Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam rantai pasok kendaraan listrik.

Dengan bahan baku yang melimpah, terutama nikel sebagai mineral penting produksi baterai, Indonesia diyakini bisa menjadi produsen penting produk barang jadi berbasis nikel, seperti baterai litium dan baterai EV. Pembangunan pabrik baterai dan EV merupakan lompatan besar menuju pasar EV level global. Sekaligus konstribusi Indonesia mengurangi bahan bakar fosil dari gas buang karbon pemicu pemanasan global.

Sampai Maret 2022, pemerintah telah mengkonversi 100 unit motor bahan bakar minyak (BBM) ke motor listrik, dari 1000 unit motor yang ditargetkan tahun ini. Pada 2030, ditargetkan sebanyak 13 juta motor BBM akan terkonversi ke motor listrik. Dengan ini, para pelaku usaha komponen motor listrik konversi dan penyedia baterai, dapat meningkatkan kapasitas produksi dan kandungan lokal agar harga bisa lebih terjangkau.

Konversi ini juga menjadi salah satu langkah makin mandiri dalam ketahanan energi. Juga menjadi tonggak awal transformasi menuju kendaraan listrik dan upaya mengurangi emisi karbon. Emisi satu liter BBM, daripada listrik, emisi karbonnya lebih rendah listrik, sehingga program ini menjadi salah satu katalis tidak hanya pengurangan emisi karbon, tapi juga mengurangi impor dan subsidi BBM serta penghematan devisa.

Memperkuat Ekosistem

Dalam produksi baterai, PT PLN bersama BUMN lainnya telah berkolaborasi membentuk Indonesia Battery Coorporation (IBC), untuk membangun Battery Energy Storage System (BESS), berkapasitas 5 megawatt (MW) tahun ini. Program ini merupakan tindak lanjut dari rencana kerja IBC untuk memulai ekosistem baterai storage di Indonesia sebagai upaya mempercepat transisi energi dan mencapai net zero emission (NZE) pada 2060.

Pada 2022 ini, PLN juga akan mengkonversi Pembangkit Listrik Diesel (PLTD) dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebesar 250 MW. PLN juga telah bekerja sama dengan PT Energy Indonesia Berkarya, anak usaha Sinarmas Grup, dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Diantaranya penyediaan EV charging, baik Stasiun Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) maupun home charging. Kerja sama ini merupakan bentuk partisipasi swasta dalam transisi energi.

Pemberian insentif, subsidi dan pengurangan pajak impor EV dari pemerintah akan berdampak pada pertumbuhan pesat penggunaan EV. Sementara penggunaan EV secara masif membutuhkan kesiapan listrik dari PLN. Peningkatan penggunaan EV akan meningkatkan beban listrik, terutama di malam hari, saat pemilik EV mengisi ulang baterainya.

PLN sangat siap dalam ekosistem EV, untuk tahun ini saja dalam sistem kelistrikan Jawa-Bali, akan ada tambahan pasokan listrik sebesar 6.000 MW. Elektrifikasi transportasi secara signifikan akan meningkatkan serapan listrik. Stasiun pengisian daya kendaraan listrik sangat krusial di sektor hilir, yang berdampak terciptanya permintaan kendaraan listrik di dalam negeri.

Selain baterai EV, komponen pendukung kendaraan listrik juga harus dapat diproduksi di dalam negeri. Langkah ini akan mendorong peningkatan produk komponen dalam negeri, sehingga harga jual EV bisa lebih terjangkau. Harga mobil listrik secara umum masih di atas Rp 450 juta per unit, sementara berdasar survei daya beli masyarakat untuk mobil sekitar Rp 300 juta.

Sesuai tren global terkait transisi energi, industrialisasi dan rantai pasok di masa depan, ditentukan adopsi teknologi dan prinsip ekonomi rendah karbon. Kendaraan listrik dan baterai listrik adalah produk teknologi dalam menjawab tantangan global, ketika faktor alam tidak lagi menjadi input produksi secara keseluruhan, namun bermetamorfosis menjadi berorientasi konservasi.

Untuk itu, penghematan energi dan pemanfaatan energi bersih harus menjadi bagian dari gaya hidup. Sehingga akan menjadi legasi untuk kehidupan yang lebih baik dan berkualitas sebagai bentuk tanggung jawab bagi generasi mendatang.

Hemat energi dan penggunaan energi bersih harus menjadi gerakan bersama, tidak hanya di Indonesia tapi juga di planet ini.

Penulis adalah Komisaris PT PLN (Persero).

Pos terkait