INDODAILY.CO, PALEMBANG – Kebutuhan air bersih di Desa Muara Maung Kecamatan Merapi Barat Kabupaten Lahat Sumatera Selatan (Sumsel) seolah menjadi barang langka. Padahal dulunya, para warga di sana tidak dipusingkan dengan sumber air bersih, karena air bersih di Sungai Kungkilan yang mengalir cukup deras.
Wajah Sungai Kungkilan tak secantik dulu. Air yang keruh dengan volume yang kecil di musim kemarau, tak bisa lagi digunakan untuk mandi atau mencuci pakaian. Namun di saat musim hujan, luapan air Sungai Kungkilan akan membanjiri puluhan rumah di daerah tersebut.
Keberadaan beberapa perusahaan tambang batubara di Desa Muara Maung, membuat Sungai Kungkilan menjadi korbannya. Dugaan limbah batubara yang menumpuk di pinggir sungai hingga membuat sedimentasi di Sungai Kungkilan, yang berpengaruh besar pada kualitas air sungainya.
Perempuan di Desa Muara Maung-lah yang merasakan dampak besar dari perubahan Sungai Kungkilan. Mereka kesulitan untuk mendapatkan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga. Untuk mencuci baju dan peralatan masak hingga untuk membersihkan diri, sudah tak bisa lagi di Sungai Kungkilan.
Sumur yang dibuat di dekat rumah, juga tidak terlalu bisa diandalkan. Bahkan ketika musim kemarau, air dari sumur mengering dan membuat para perempuan kesulitan mengurus keperluan di rumahnya.
Anak-anak mereka yang masih nekat mandi di Sungai Kungkilan, juga mengalami gatal-gatal karena terpapar air sungai yang bercampur dengan limbah tambang batubara.
Terpaksa, para perempuan di Desa Muara Maung harus menyisihkan dana lebih dari pendapatan yang serba pas-pasan untuk membeli air bersih. Dalam sehari, mereka bisa menggunakan 2-5 galon dengan biaya Rp6.000/galonnya.
Ada yang hanya digunakan untuk memasak saja, tapi tak jarang juga yang menggunakan air galon untuk mandi. Beberapa masyarakat akhirnya membentuk organisasi masyarakat yang dinamai Posko Anak Padi sejak 2019 lalu.
Ketua Yayasan Anak Padi Syahwan mengatakan, jika kondisi perekonomian masyarakat di Desa Muara Maung sendiri jauh menurun sejak adanya banyak perusahaan tambang. Kondisi diperparah dengan adanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang mengeluarkan debu batubara dari pembakaran batubara.
“Penghasilan masyarakat di desa ini hanya Rp2 juta – Rp 3jutaan per bulan. Banyak warga yang beralih menjadi pekerja perusahaan batubara, namun hanya menjadi buruh kasar hingga sopir dengan penghasilan yang terbatas. Padahal kebutuhan mereka tinggi karena sumber air yang terbatas, tapi penghasilan yang bisa mereka dapatkan hanya pas-pasan, tidak bisa lagi mengandalkan dari lahan pertanian,” ujarnya.
Tak hanya Yayasan Anak Padi saja yang bergerak, para perempuan di Desa Muara Maung juga melakukan penolakan terhadap kehadiran perusahaan tambang batubara dan PLTU yang membuat hidup mereka kesusahan.
Bahkan para ibu pernah melakukan protes langsung dan menghadang kendaraan angkutan batubara melintas, dengan membentangkan spanduk ‘Tambang Ini Disegel Oleh Rakyat’. Mereka juga melaporkan dampak buruk perusahaan tambang batubara dan PLTU ke polisi, karena tingginya pencemaran lingkungan.
“Inilah yang terjadi, kami dibuat seperti pendatang, bukan seperti tuan rumah. Padahal kami sudah tinggal di sini sejak nenek moyang kami ada,” ungkapnya.
Sumarlan, Koordinator Perkumpulan Sumsel Bersih Lestari berkata, Sungai Kungkilan dulunya banyak ikan-ikan yang bisa dipancing warga untuk pemenuhan lauk-pauk di rumah. Sungai Kungkilan yang dulunya mengaliri sawah warga hingga menjadi ladang penghidupan dan juga untuk MCK. Tapi kini tercemar parah oleh limbah dari aktivitas pertambangan batubara, sehingga tidak bisa lagi digunakan.
“Sudah banyak lumpur, pendangkalan sungai, air yang keruh, potensi banjir tinggi, kekeringan parah di musim kemarau. Masyarakat terus demo hingga melakukan penutupan jalan sampai minta ganti rugi, tapi tidak digubris,” katanya.
Sebelumnya mereka bisa menanam di pekarangan, mendapatkan hasil hutan kayu, madu lebah dan jernang di hutan di kawasan pedesaan. Namun hutannya sekarang dirusak karena masuk ke areal tambang batubara. Masyarakat mengalami penurunan hasil panen, bukan karena sungainya yang rusak saja, tapi unsur hara di tanah juga rusak karena polusi tanah dari aktivitas batubara.
Sungai Kungkilan merupakan sungai alam yang masuk dalam aliran Sungai Lematang. Aliran sungainya akhirnya dipindahkan karena aktivitas batubara. Kalau dulu, masyarakat bisa menanam karet dan palawija, seperti sayur-mayur, tanaman obat keluarga, jeruk dan lainnya.
“Banyak lahan mereka kering. Tanaman utamanya karet dan palawijaya tapi sekarang tidak maksimal hasilnya. Bahkan saat musim hujan, mereka sama sekali tidak menanam karena potensi gagal panen tinggi,” ucapnya. ***