Dirty Vote: Ketika Film Dokumenter menjadi Alarm Demokrasi

PALEMBANG, INDODAILY.CO – Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, ruang publik Indonesia dikejutkan oleh kemunculan sebuah film dokumenter berjudul ‘Dirty Vote’.

Film itu dirilis secara legal melalui YouTube pada 11 Februari 2024, film ini dengan cepat menyedot perhatian publik. Dalam hitungan hari, jutaan viewers telah menyaksikan tayangan berdurasi lebih dari dua jam tersebut.

Hal ini dikarenakan Dirty Vote hadir membawa tema sensitif yaitu hipotesisnya akan kondisi sistematis dalam proses Pemilu 2024 di Indonesia.

Film yang diproduksi oleh Watchdoc dan disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono ini menampilkan tiga pakar hukum tata negara yaitu Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zulfikar Arifin Mochtar yang secara terbuka menguraikan berbagai persoalan Pemilu 2024.

Mulai dari ketidaknetralan aparat negara, politisasi bantuan sosial, hingga kontestasi putusan Mahkamah Konstitusi.

Bacaan Lainnya

Melalui pendekatan dokumenter ekspositori, Dirty Vote tidak sekadar menyajikan data, tetapi juga membangun narasi kritik terhadap praktik demokrasi pemilu di Indonesia.

Kehadiran film ini sekaligus menegaskan peran media baru, khususnya YouTube, sebagai ruang alternatif dalam menyampaikan kritik politik di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap media konvensional.

Medium Kritik

Secara historis, dokumenter kerap digunakan sebagai media untuk merekam realitas sosial dan mengajukan kritik terhadap kekuasaan.

Di Indonesia, tradisi ini bukan hal baru. Sebelumnya Dandy Laksono dkk telah menuangkan keresahan mereka akan kondisi sosial politik indonesia melalui ‘Sexy Killer’ menjelang Pemilu 2019 dan ‘Endgame’, yang hadir atas keresahan akan keputusan KPK memecat 75 pegawainya karena gagal dalam tes wawasan kebangsaan.

Dirty Vote melanjutkan tradisi tersebut dengan mengangkat isu yang sangat aktual dan dekat dengan kehidupan masyarakat: pemilu dan demokrasi.

Namun yang membedakannya adalah cara distribusinya. Tidak melalui televisi atau bioskop, film ini dirilis langsung di YouTube, sehingga mudah diakses oleh siapa pun tanpa batasan ruang dan waktu.

Pilihan medium ini penting. Dengan lebih dari 140 juta pengguna YouTube di Indonesia, platform ini menjadi ruang publik digital yang sangat potensial.

Di tengah kejenuhan masyarakat terhadap pemberitaan politik di media arus utama yang sering dianggap normatif dan kurang kritis, Dirty Vote hadir sebagai alternatif yang berani dan lugas.

Mengurai Otoritarianisme Elektoral, salah satu kekuatan utama Dirty Vote terletak pada kerangka analisis yang digunakan. Film ini secara implisit memotret gejala apa yang oleh ilmuwan politik Andreas Schedler disebut sebagai electoral authoritarianism atau otoritarianisme elektoral.

Dalam konsep ini, Pemilu tetap berlangsung secara formal, namun sarat manipulasi yang menguntungkan penguasaan atau kelompok tertentu.

Schedler membagi otoritarianisme elektoral ke dalam tiga perspektif: pemilu sebagai hiasan , pemilu sebagai alat , dan pemilu sebagai arena . Ketiganya tergambar jelas dalam narasi Dirty Vote.

Pada dimensi pemilu sebagai hiasan, film ini menunjukkan bagaimana proses demokrasi dijalankan secara prosedural, namun kehilangan substansi. Lembaga-lembaga negara yang seharusnya bersikap netral justru menunjukkan keberpihakan.

Kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat usia pencalonan menjadi contoh paling menonjol. Putusan tersebut dipaparkan sebagai titik krusial yang merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum independensi.

Dalam dimensi pemilu sebagai alat, Dirty Vote menyoroti bagaimana instrumen negara digunakan untuk menjamin dukungan politik. Bantuan sosial, misalnya, diartikan bukan semata-mata kesejahteraan, melainkan sarana membangun loyalitas pemilih.

Narasi ini diperkuat dengan arsip visual, ilustrasi, dan pernyataan narasumber yang menyebut praktik tersebut sebagai bentuk politik ‘tong babi’.

Sementara itu, pada dimensi pemilu sebagai arena, film ini mengungkap ketimpangan dalam kontestasi politik. Meski secara formal terdapat lebih dari satu pasangan calon, arena pertarungan digambarkan tidak setara karena adanya dukungan struktural dari penguasa terhadap salah satu kandidat.

Penunjukan jabatan kepala daerah, tekanan terhadap aparat desa, hingga keberpihakan pejabat publik menjadi rangkaian praktik yang membedakan ruang kompetisi yang adil.

Lugas dan Provokatif

Dari sisi estetika dan naratif, Dirty Vote menggunakan gaya dokumenter ekspositori. Narasumber ketiga tampil dominan, berbicara langsung ke kamera dengan latar layar yang menampilkan data, arsip berita, dan ilustrasi visual. Gaya ini membuat film pesan terasa lugas, bahkan provokatif.

Dialog-dialog yang disampaikan tidak jarang disertai sindiran dan humor sarkastik, yang justru membuat kritik terasa lebih membumi dan mudah dipahami oleh penonton awam.

Alih-alih terjebak dalam bahasa akademik yang kaku, Dirty Vote memilih bahasa populer tanpa kehilangan ketajaman analisis.

Pilihan ini tampaknya bertujuan untuk menjangkau audiens yang lebih luas, khususnya generasi muda yang akrab dengan media digital namun kerap bersikap apatis terhadap politik formal.

Reaksi Publik dan Polemik

Sejak dirilis, Dirty Vote memicu beragam reaksi. Di media sosial, film ini menjadi bahan perbincangan hangat dan memicu diskusi tentang kualitas demokrasi Indonesia.

Banyak warganet yang memuji keberanian Watchdoc dalam mengangkat isu-isu sensitif, sementara yang lain mengamati objektivitas dan waktu rilis film yang berdekatan dengan hari pengumpulan suara.

Dari kalangan politik, reaksi keras datang dari tim pemenang salah satu pasangan calon yang menilai film ini sebagai bentuk fitnah dan propaganda.

Tuduhan tersebut menunjukkan bahwa Dirty Vote tidak hanya menjadi produk budaya, tetapi juga aktor dalam dinamika politik kontemporer.

Terlepas dari pro dan kontra, sulit disangkal bahwa film ini berhasil menggugah kesadaran masyarakat.

Ia memaksa masyarakat untuk tidak sekadar menerima proses pemilu sebagai rutinitas lima tahun, kecuali mengekstraknya secara kritis.

Media Baru dan Masa Depan Partisipasi Politik

Fenomena Dirty Vote menunjukkan perubahan lanskap komunikasi politik di Indonesia. Media baru memungkinkan produksi dan distribusi pesan politik di luar kendali negara dan korporasi media besar.

YouTube sebagai platform berbagi konten, membuka ruang bagi narasi tandingan yang sebelumnya sulit mendapatkan tempat.

Dalam konteks ini, dokumenter film tidak lagi sekadar karya seni atau arsip sejarah, melainkan alat advokasi dan pendidikan politik. Ia dapat membangun kesadaran, memicu diskusi, bahkan mempengaruhi cara masyarakat memandang kekuasaan.

Namun demikian, kemunculan media alternatif juga menuntut literasi media yang lebih kuat. Publik perlu mampu memilah informasi, memahami konteks, dan tidak menelan mentah-mentah setiap narasi yang disajikan, seberani apa pun kritik tersebut.

Penutup

Dirty Vote adalah penanda penting dalam perjalanan demokrasi digital Indonesia. Film ini menunjukkan bahwa kritik terhadap kekuasaan tidak selalu harus datang dari mimbar politik atau kolom opini media cetak.

Di era media baru, sebuah film dokumenter yang diunggah ke YouTube dapat menjadi alarm demokrasi yang menggema luas.

Apakah Dirty Vote akan membawa perubahan dalam sistem politik Indonesia masih menjadi tanda tanya. Namun setidaknya, film ini telah membuka ruang diskusi dan mengingatkan masyarakat bahwa demokrasi bukan sekadar soal mencoblos, melainkan tentang menjaga keadilan, transparansi, dan akuntabilitas kekuasaan.

Penulis:

Eko Pebryan Jaya, M.Ikom – Dosen FISIP Ilmu Komunikasi Universitas Sriwijaya (UNSRI)

Pos terkait