
Palembang, Indodaily.co – Media sosial kini dihebohkan dengan adanya dugaan perselingkuhan yang dibarengi dengan penganiayaan, yang dialami selebgram Meylisa Zaara. Selebgram asal Tulungagung, melaporkan suaminya sendiri, RK, yang dinikahinya pada bulan September 2022 lalu.
RK dituduh sudah menganiayanya, karena Meylisa meminta penjelasan terkait chat mesra yang diduga dilakukan RK dengan pria lain di Direct Message (DM) Instagram-nya.
Kasus perselingkuhan ini pun dibahas di kanal Serambinews.com yang berjudul ‘KISAH Tragis Selebgram Meylisa Zaara, Suami Selingkuh dengan Pria, Diduga Saksi Pernikahannya’.
Isu ini juga menjadi trending topic di medsos Twitter. Apalagi Meylisa Zaara disebut sudah membongkar adanya dugaan hubungan ‘khusus’ suaminya RK, yang dikabarkan berprofesi sebagai dokter kecantikan.
Istilah ‘Boti’ pun kembali menjadi pembahasan hangat Twitter. Boti sendiri adalah bahasa gaul yang biasanya digunakan kaum LGBT khususnya Gay atau Homo, pria penyuka pria.
Boti merupakan bahasa gaul dari ‘bottom’ atau seorang pria gay yang memposisikan diri sebagai ‘perempuan’, dan pasangan prianya sebagai ‘laki-laki’ atau disebut dengan ‘Top’.
Seperti inilah komentar pengguna Twitter atas kasus Meylisa Zaara:
“Ada lagi yang mempermainkan SAKRAL nya pernikahan, A teman manten laki-laki sekaligus saksi akad nikah ternyata selingkuhan si manten lelaki, info nya laki-laki nya dokter kecantikan, si mbak nya selebgram,” tulis akun tersebut.
“Kalau masih boti jangan menikah lah,” tulis salah satu akun yang turut mengunggah tangkapan layar pemberitaan hubungan suami Meylisa.
Hebohnya kasus LGBT dan istilah gaul ‘Boti’ ini membuat masyarakat kian mengetahui tentang istilah-istilah tersebut.
Apalagi di media Liputan6.com, membahas tentang istilah ‘Boti’ yang yang lagi heboh di Twitter, yang berjudul ‘Apa itu Istilah ‘Boti’, Trending di Twitter Dikaitkan dengan Perselingkuhan Suami Selebgram Meylisa Zaara?’.
Tak hanya istilah ‘Boti’, di Twitter juga lagi trending pembahasan ‘LGBT’. Terlebih kasus ini menyeruak seiring dengan adanya rencana pertemuan LGBT se-Asean di Jakarta, yang akhirnya membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak keras kegiatan tersebut. Seperti yang ditulis di kanal Detik.com berjudul ‘MUI Kecam Rencana Aktivis LGBT se-ASEAN Kumpul di Jakarta’.
Seiring dengan hebohnya dua isu pemberitaan tersebut, kini mencuat juga berita tentang artis dan desainer Oscar Lawalata yang mendeklarasikan diri sebagai transpuan di usia 40 tahun. Seperti diberitakan di laman Viva.co.id berjudul ‘Oscar Lawalata Resmi Ganti Identitas Jadi Perempuan, Namanya Sekarang Asha Smara Darra’.
Pemberitaan tentang hal sensitif itu pun kian masif di media massa, apalagi menyangkut tentang public figure. Disadari atau tidak disadari, pemberitaan yang masif di media massa akan berpengaruh pada pola pikir masyarakat. Ada yang akhirnya terdoktrin untuk menolak mentah-mentah kalangan LGBT.
Banyak masyarakat yang menilai LGBT adalah orang-orang yang bertentangan dengan syariah agama, terutama agama Islam, yang melarang hubungan antara sesama jenis.
Apalagi di Indonesia sendiri, tidak bisa melakukan pernikahan sesama jenis. Beda hal dengan beberapa negara di dunia yang memperbolehkan pernikahan sesama jenis, seperti Argentina, Brasil, Kolombia, Ekuador, Kosta Rika, Chilli, Uruguay dan beberapa negara bagian Meksiko.
Namun tak sedikit juga yang mendukung LGBT, atas dasar Hak Asasi Manusia (HAM). Karena kerapkali LGBT sering didiskriminasi untuk masalah hak-hak sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).
Di balik pro kontra soal LGBT di Indonesia, menarik juga ditilik perihal apa yang melatarbelakangi seseorang memilih menyukai sesama jenis. Dari berbagai cerita orang yang mengaku sebagai penyuka sesama jenis di Palembang Sumatera Selatan (Sumsel), mereka ternyata memiliki latar belakang sendiri hingga akhirnya memilih untuk menjadi bagian dari LGBT.
Ada yang sudah menjadi korban kekerasan seksual sejak kecil hingga membuat mereka merasa sudah terbiasa dengan penyimpangan seksual. Ada juga seorang perempuan yang kehilangan kasih sayang seorang ayah, sehingga sudah terbiasa dengan sentuhan kasih dari sesama jenisnya.
Banyak yang mengakui, jika pilihannya menjadi LGBT tidak akan diterima baik oleh keluarga, masyarakat bahkan negara. Namun mereka tetap memilih menjadi LGBT, karena merasa hidupnya lebih nyaman dan tidak merasa menipu diri sendiri dengan menyukai lawan jenis.
Dalam bersosialisasi, para LGBT kerap menutupi penyimpangan seksualnya agar mereka tidak dipandang rendah oleh lingkungannya. Hal inilah yang membuat gerakan LGBT nyaris tidak terlihat, karena mereka tidak ingin hal-hal pribadi dalam hidupnya apalagi yang bertentangan dengan norma agama, akan membuat hidup mereka kesulitan.
Berdasarkan peraturan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melarang media massa untuk mempublikasikan segala bentuk kegiatan LGBT.
Namun masifnya pembahasan tersebut di medsos, sehingga menarik berbagai media massa untuk membahasnya, kendati tidak dikupas tuntas tentang public figure yang diduga mengarah ke LGBT.
Dari berbagai pemberitaan terutama perubahan gender Oscar Lawalata, media massa akhirnya memilih jalur aman untuk publikasi hal tersebut. Tidak menuliskan secara gamblang terkait Transgender, tapi dituliskan sebagai ‘Resmi Menjadi Perempuan’.
Hal tersebut tentunya tidak bertentangan dengan peraturan KPI, namun media massa juga harus memilih kata-kata yang pas dalam publikasi terkait isu sensitif tersebut.
Penulis:
1. Nefri Inge (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Bina Darma Palembang)
2. Isnawijayani (Dosen Pascasarjana Universitas Bina Darma Palembang)