INDODAILY.CO, JAKARTA – Untuk kesekian kalinya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi kepastian soal tekad pemerintah Indonesia terus mendorong upaya menuju produksi mobil listrik. Penegasan terakhir disampaikannya dalam sebuah acara pameran mobil, pertengahan November lalu, yang menampilkan beberapa model kendaraan listrik berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV).
Pada kesempatan itu, Presiden ketujuh Indonesia itu juga memberi catatan, produksi kendaraan listrik dan hibrid, harus rendah emisi dan ramah lingkungan. Dengan kata lain, produksi kendaraan listrik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Kesepakatan Paris 2015 terkait target net zero emission. Kebijakan itu tepat, hasil penelitian terbaru International Council on Clean Transportation (ICCT, 2021) mengatakan, hanya BEV senjata ampuh untuk mengalahkan pemanasan global.
Supervisi langsung dari Presiden RI itu bisa menjadi katalis bagi para pemangku kepentingan untuk mewujudkan impian Indonesia sebagai pemain utama kendaraan listrik level global. Menurut National Battery Research Institute (NBRI, 2020), Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain industri BEV terbesar di Asia Tenggara. Indonesia memiliki kekuatan besar untuk melayani jumlah hingga 340 ribu unit kendaraan listrik setiap tahun pada 2030.
Potensi ini harus dijadikan momentum kuat bagi Indonesia untuk mengisi pasar BEV dunia yang makin cerah seiring upaya global memacu pengurangan emisi gas rumah kaca dan skenario Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s). Badan Energi Internasional (IEA), dalam Outlook EV Global 2021, juga melihat pertumbuhan kendaraan listrik yang terus meningkat di seluruh dunia. Stok BEV di semua jenis, kecuali kendaraan roda dua dan tiga, akan mencapai 145 juta pada 2030.
Pasar itu bisa lebih besar secara signifikan jika masing-masing negara mempercepat upaya mencapai tujuan iklim. Untuk itu diperlukan kebijakan transisi energi, dekarbonisasi pembangkit listrik, infrastruktur pengisian dan memajukan manufaktur baterai. Kemajuan dalam teknologi baterai dan manufaktur massal akan menurunkan biaya BEV.
*Mengamankan Rantai Pasok*
Indonesia tidak hanya memiliki deposit nikel terbesar di dunia, tapi juga kapasitas produksinya. Nikel adalah important resources untuk baterai Li-ion yang menjadi komponen kunci kendaraan listrik. Menggabungkan potensi besar dengan proyeksi pasar BEV di masa depan, adalah langkah tepat dan strategis bagi Indonesia menangkap peluang bisnis global itu.
Dalam sepuluh tahun terkahir, Indonesia adalah produsen nikel paling dominan. International Nickel Study Group (INSG, 2021) mencatat, produksi nikel Indonesia mencapai 771.000 ton pada tahun lalu, dua kali lipat dari Filipina yang menjadi produsen terbesar kedua di dunia, dan menyumbang sepertiga dari produksi nikel global. Produksi ini diperkirakan terus meningkat akibat larangan ekspor bijih nikel yang belum diproses, dan membanjirnya investasi terutama dari China.
Tekanan dari Uni Eropa yang meminta Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk mencegah larangan ekspor, tidak dapat menghentikan dominasi Indonesia dalam rantai pasokan nikel yang semakin meningkat. Ajudikasi WTO dan lobi-lobi internasional, tidak menyurutkan langkah Indonesia melarang ekspor bijih nikel. Curhatan Presiden Joko Widodo terkait tekanan negara-negara G-20, yang sempat disampaikan salah satu menterinya, perlu diletakkan dalam konteks ini.
Indonesia memiliki alasan kuat bahwa upaya negara maju itu menghambat hak negara berkembang untuk memandu kebijakan sumber daya alamnya. Larangan ekspor untuk memaksa penambang bijih nikel berinvestasi dalam pemrosesan nilai tambah di Indonesia. Tujuannya agar Indonesia menjadi posisi sentral dalam rantai nilai tambah pada rantai pasokan BEV, mulai menambang bijih, memurnikannya, memproduksi baterai, dan membangun industri mobil listrik.
Upaya menjadikan hilir pengelolaan nikel Indonesia adalah pilihan strategis yang efektif. Pembangunan ekonomi yang mencakup investasi asing untuk meningkatkan nilai tambah manufaktur, tidak hanya akan meningkatkan nilai investasi di sektor hilir nikel, tapi juga meningkatkan kapasitas kilang pemurnian dalam negeri. Pemrosesan bijih nikel di dalam negeri akan menempatkan Indonesia sebagai pusat manufaktur potensial baterai lithium-ion yang menggerakkan kendaraan listrik.
Kini tercatat, Toyota, LG Group Korea Selatan, dan produsen baterai utama China (CATL), telah menandatangani kesepakatan miliaran dollar Amerika untuk membuka pabrik baterai di Indonesia. Pabrikan mobil Hyundai juga telah membangun pabriknya di Cikarang senilai sekitar US $ 1,5 miliar. Pada Maret 2022, pabrikan otomotif ini akan mulai memproduksi mobil listrik di Indonesia (Investor Daily, 21/12/2021).
*Tekno-Nasionalisme*
Transisi bersejarah dari mesin pembakaran internal (ICE) ke masa depan serba listrik, selain akan memicu perlombaan perusahaan otomotif terkemuka di dunia, juga masalah geopolitik. Aktor negara dan non negara bergerak membangun ekosistem BEV dan mengamankan rantai pasokannya. Dengan pemanfaatan hulu dan hilir nikel sebagai komponen penting baterai kendaraan listrik, Indonesia berada di jalur yang tepat untuk mengamankan rantai pasok BEV.
Belajar dari China yang puluhan tahun memposisikan sebagai pemain dominan BEV di dunia, telah memicu reaksi berantai pesaing otomotif lainnya di Eropa, Amerika, dan Asia. Mereka berpikiran sama untuk dapat mengendalikan rantai pasokan BEV seperti nikel, bahan tanah jarang, dan baterai lithium, untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan keamanan dalam persaingan yang lebih luas. Dalam perspektif geopolitik, perkembangan ini telah memicu manifestasi “tekno-nasionalisme abad ke-21”.
Semacam pola pikir neo-merkantilis yang menghubungkan kemampuan teknologi sebagai aktor kunci suatu negara dengan keamanan nasional, kemakmuran ekonomi, dan stabilitas politik. Dalam konteks ini, penguasaan di sektor manufaktur dan komponen penting BEV juga belum cukup. Elektrifikasi sektor otomotif juga membutuhkan jaringan digital, Artificial Intellegence (AI), dan teknologi sensorik seperti semikonduktor.
Kini secara global, negara-negara maju sedang berlomba memproduksi mobil listrik. Mereka tidak hanya bersaing meningkatkan jumlah investasinya untuk memenuhi permintaan pasar BEV yang terus meningkat seiring upaya global mengurangi emisi karbon dan pemanasan global. Tapi juga mengamankan rantai pasok BEV, utamanya baterai, sebagai elemen penting dan mahal dalam kendaraan listrik.
Di tengah meningkatnya tekno-nasionalisme dalam perlombaan BEV, untuk menjadi pemain global, Indonesia perlu menjalin kemitraan strategis dengan negara yang menguasai rantai pasok teknologi BEV. Karena kemajuan teknologi baterai akan menentukan keberhasilan merek kendaraan listrik dan produsennya.
Keberhasilan itu perlu ekosistem BEV yang menyatukan elemen-elemen kunci mulai produsen baterai, komponen penting seperti magnet dan katoda, infrastruktur stasiun pengisian daya, regulasi dan kebijakan, serta pengguna akhir atau pelanggan.