¹ Muhammad Yudha Ardiansyah
² Muhammad Firdaus
³ H. M. Yakub
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Abstrak. Penelitian ini mengkaji dinamika pemikiran dan peran lima lembaga dakwah awal di Indonesia, yaitu
Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Persatuan Umat Islam (PUI), dan Mathla’ul
Anwar. Lembaga-lembaga tersebut lahir dari kondisi sosial keagamaan masyarakat Indonesia pada masa kolonial,
dengan asal usul yang berbeda-beda tetapi memiliki tujuan yang sama: memperkokoh keimanan dan membimbing
umat. Melalui pendekatan historis-kritis, penelitian ini mengkaji perbedaan dan persamaan pemikiran, strategi
dakwah, serta kontribusi lembaga-lembaga tersebut terhadap pembentukan jati diri Islam bangsa Indonesia. Hasil
kajian menunjukkan, meski terdapat perbedaan metodologi dakwah dan kedudukan pemikiran, kelima lembaga
tersebut memiliki peran yang sama pentingnya dalam pengembangan spiritual, pendidikan, dan sosial umat Islam
di Indonesia.
Kata kunci: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, PERSIS dan PUI.
1. LATAR BELAKANG
Sejarah dinamika pemikiran lembaga-lembaga dakwah Islam awal di Indonesia mencerminkan perjalanan panjang dan kompleks perkembangan Islam di Nusantara.
Organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS),
Persatuan Umat Islam (PUI) dan Mathla’ul Anwar telah menjadi pilar utama penyebaran dan
pengembangan ajaran Islam yang berakar pada konteks sosial, politik dan budaya Indonesia sejak awal abad ke-20.
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang berdiri masing-masing pada tahun 1926 dan 1912, telah menjadi tonggak penting dalam sejarah Islamisasi di Indonesia dengan pendekatan yang berbeda namun saling melengkapi dalam dakwah dan pendidikan Islam (Aini, 2022).
PERSIS muncul sebagai organisasi dakwah yang menekankan pemurnian ajaran Islam, sementara PUI berperan dalam memperkuat persatuan umat Islam dalam konteks sosial politik.
Mathla’ul Anwar, yang didirikan pada tahun 1916 di Banten, juga memainkan peran penting sebagai organisasi massa Islam yang berfokus pada pendidikan dan dakwah di masyarakat lokal (Universitas Mathla’ul Anwar Banten, 2024).
Dinamika pemikiran lembaga-lembaga ini tidak hanya diartikulasikan pada aspek-aspek keagamaan, tetapi juga menyentuh aspek-aspek sosial dan budaya, serta respons terhadap tantangan zaman, seperti kolonialisme dan modernisasi. Masing-masing lembaga mempunyai ciri khas dan sumbangannya yang unik, yang membentuk lanskap dakwah Islam di Indonesia hingga saat ini. Pendekatan mereka terhadap pendidikan, pelatihan kepemimpinan, dan
kegiatan sosial-keagamaan memberikan landasan penting untuk memperkuat identitas dan peran umat Islam di Indonesia.
Dengan memahami sejarah dan dinamika pemikiran lembaga-lembaga misionaris awal ini, kita dapat memperoleh pandangan yang lebih komprehensif tentang kontribusi mereka dalam membangun masyarakat Islam yang tangguh dan toleran, serta mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Kajian ini penting untuk menghargai keberagaman dan kompleksitas peran dakwah Islam di Indonesia, sekaligus untuk menelusuri akar pemikirannya yang terus berkembang hingga saat ini.
2. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan
library research. library research merupakan metode pengumpulan data yang diarahkan kepada pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, foto-foto, gambar, maupun dokumen elektronik yang dapat mendukung dalam proses penulisan. Nasir (1998) berpendapat bahwa langkah pertama dalam library research adalah peneliti harus
menentukan topik penelitian terlebih dahulu, kemudian melakukan penelitian yang berkaitan dengan teori dan terkait dengan topik penelitian. Dalam pencarian teori, peneliti lebih mementingkan pengumpulan informasi sebanyak mungkin dari literatur yang relevan. Buku, jurnal, majalah, hasil penelitian (tesis dan disertasi), dan sumber lain yang relevan dengan tema
penelitian dapat diakses melalui kepustakaan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dinamika Pemikiran dalam Lembaga Dakwah
1. Pemikiran Keagamaan dan Tafsir Islam dalam Lembaga Dakwah di Indonesia
Pemikiran keagamaan dan penafsiran Islam pada lembaga-lembaga dakwah Islam awal di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, PERSIS, PUI, dan Mathla’ul Anwar menunjukkan perbedaan pendekatan yang mencerminkan karakteristik
masing-masing organisasi dalam menjawab tantangan zaman dan kebutuhan umat. Berikut masing-masing dinamika pemikiran Lembaga Dakwah di Indonesia:
a) Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama mengambil pendekatan yang lebih tradisional dan kultural
dalam pemikiran keagamaannya. NU menekankan pentingnya tasawuf, ritual dan
ajaran keagamaan yang berakar pada budaya lokal dan kitab kuning. Penafsiran Islam
yang dikembangkan NU cenderung mengintegrasikan tradisi dan praktik keagamaan yang berakar dalam masyarakat, sehingga dakwahnya lebih bersifat kultural dan
kontekstual (Katili, 2024).
b) Muhammadiyyah
Muhammadiyah menyajikan pemikiran keagamaan yang lebih rasional, modern
dan reformis. Organisasi ini berupaya memurnikan ajaran Islam dengan kembali kepada sumber asli Al-Quran dan Hadits, menolak praktik-praktik sesat, dan menekankan pentingnya etika dan moralitas. Muhammadiyah juga mengembangkan penafsiran Islam secara saintifik dan rasional serta mengutamakan pendidikan sebagai sarana utama dakwah untuk emansipasi sosial dan intelektual umat Islam. Pendekatan tauhid sosial merupakan inti dakwah Muhammadiyah, yang tidak saja menyentuh aspek personal, tetapi juga kesadaran sosial umat Islam (Arsy, 2019).
c) PERSIS
PERSIS adalah organisasi yang didedikasikan untuk pemurnian ajaran Islam melalui pendekatan yang ketat terhadap sumber-sumber Islam. Ia menolak praktik- praktik yang dianggap menyimpang dari Al-Quran dan Sunnah, sehingga penafsiran dan pemikiran keagamaannya cenderung literal dan tekstual, menekankan pentingnya kembali kepada teks-teks asli Islam, tanpa campur tangan terhadap budaya lokal
(PERSIS, 2023).
d) Persatuan Ummat Islam (PUI)
Sebagai organisasi yang mempererat tali silaturahmi antar umat Islam, PUI turut
mengembangkan pemikiran keagamaan yang moderat dan inklusif, dengan berupaya
menyatukan berbagai pandangan yang berbeda dalam masyarakat Islam dengan tetap
berpegang pada asas-asas syariat dan akidah yang shahih (Amrullah, 2001).
e) Mathla’ul Anwar
Mathala’ul Anwar mengembangkan pemikiran keagamaan yang berbasis pada dialog dan komunikasi, sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran (QS An-Nahl: 125).
Organisasi ini menggabungkan sistem pendidikan madrasah dan pesantren untuk mendidik para pendakwah profesional dan terkemuka. Mathla’ul Anwar juga menggunakan teknologi informasi dalam dakwahnya dan menekankan amar ma’ruf nahi munkar sebagai pilar utama gerakannya. Konsistensi pemikirannya diwujudkan dengan penekanan pada dakwah, pendidikan, dan masalah sosial, tanpa terlibat dalam politik konkret.
Secara umum, dinamika penafsiran dan pemikiran keagamaan lembaga-lembaga dakwah awal ini mencerminkan upaya mereka dalam menanggapi tantangan zaman, baik sosial, budaya, maupun teknologi, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip Islam. Pendekatan yang beragam ini mencerminkan kekayaan tradisi intelektual Islam di Indonesia dan berkontribusi besar pada pembentukan citra Islam sebagai agama yang moderat, toleran, dan
adaptif.
2. Pendekatan Dakwah dan Pendidikan dalam Lembaga Dakwah di Indonesia
Lembaga dakwah awal di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, PERSIS, PUI, dan Mathla’ul Anwar, mengembangkan pendekatan dakwah dan pendidikan yang khas dan strategis untuk mencapai tujuan mereka.
Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada penyampaian pesan-pesan keagamaan, tetapi
juga pada pengembangan sosial, budaya, dan intelektual umat Islam.
a) Nahdlatul Ulama: Dakwah Kultural Berbasis Pesantren
Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1926, mengembangkan pendekatan dakwah berdasarkan tradisi. Dakwah NU berakar kuat pada budaya lokal, memadukan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah dengan praktik keagamaan masyarakat Nusantara, seperti tahlilan, maulidan, dan ziarah jenazah. Pendekatan kultural ini memungkinkan Islam diterima dengan mudah oleh berbagai lapisan masyarakat tanpa menghapus identitas lokal (Zuhri, 2020).
Di bidang pendidikan, NU tengah berupaya memperkuat pondok pesantren sebagai pusat pendidikan agama. Lembaga-lembaga ini tidak hanya memberikan pengetahuan Islam klasik seperti fiqih, tasawuf, dan tafsir, tetapi juga berkontribusi
dalam membentuk masyarakat melalui moralitas dan tradisi keagamaan. NU dalam perkembangannya juga menjadi pionir dalam mendirikan lembaga pendidikan formal berbasis pesantren yang terbuka bagi pendidikan umum (Fealy, 2003).
b) Muhammadiyah: Dakwah Modernis dan Pendidikan Tajdid
Berbeda dengan pendekatan tradisional NU, Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan, mengemban misi tajdid (pembaruan) dalam dakwah Islam. Muhammadiyah menolak praktik keagamaan yang dianggap sesat dan menyerukan kembali kepada sumber asli Islam: Al-Quran dan Hadits. Pendekatannya rasional dan modern, dan menekankan pentingnya perbuatan baik dalam kehidupan sosial. Di bidang pendidikan, Muhammadiyah telah menjadi pelopor sistem pendidikan modern di Indonesia. Organisasi ini mendirikan sekolah-sekolah umum Islam yang mengajarkan ilmu agama serta ilmu pengetahuan modern, seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, dan bahasa asing. Melalui lembaga pendidikan ini, Muhammadiyah memadukan iman dengan kemajuan intelektual
dan teknologi (Alfian, 1989).
c) Persatuan Islam (PERSIS): Dakwah Puritan Berbasis Literasi Keislaman Didirikan pada tahun 1923 di Bandung, PERSIS mengadopsipendekatan dakwah yang lebih puritan. Prihatin dengan pembebasan Islam dari segala bentuk bid’ah dan takhayul, ia menekankan pemurnian ajaran Islam sesuai dengan Al- Quran dan hadis. Pendekatannya lebih bersifat tekstual dan literal, menolak segala adaptasi terhadap budaya lokal yang tidak memiliki legitimasi Syariah. Di bidang pendidikan, PERSIS membangun madrasah yang menekankan pada kajian Islam yang mendalam, khususnya di bidang tafsir dan hadis. Melalui penerbitan seperti Al-Lisanul Arab, PERSIS juga melakukan dakwah berbasis literasi untuk melatih kader-kader intelektual muslim yang militan dan konsisten dalam dakwahnya (Islamil, 2015).
d) Persatuan Ummat Islam (PUI): Moderasi Dakwah dan Pendidikan Berbasis
Persatuan PUI lahir dari perlunya sinergi antara spirit pemurnian Islam dan kebutuhan memelihara persatuan umat. Didirikan pada tahun 1946, PUI mengembangkan pendekatan dakwah yang moderat, tidak sekeras PERSIS, tetapi tetap mempertahankan prinsip kembali kepada ajaran murni.
Di bidang pendidikan, PUI memadukan konsep pesantren dengan sistem pendidikan modern. PUI mengembangkan madrasah yang menggabungkan studi agama dan budaya umum, dan aktif memobilisasi organisasi pemuda Islam untuk memperluas jaringan dakwah (PUI Jabar, 2014).
e) Mathla’ul Anwar: Dakwah Pendidikan Islam Modern di Pedesaan Mathla’ul Anwar didirikan pada tahun 1916 di Banten oleh KH. Abdurrahman Sholeh, mendirikan pendekatan dakwah yang mengutamakan pendidikan Islam terpadu. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat pedesaan, yang saat itu masih memiliki akses terbatas ke pendidikan
formal.
Mathla’ul Anwar mendirikan madrasah yang mengajarkan ilmu agama serta ilmu umum seperti membaca, menulis, dan berhitung. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana pendidikan menjadi sarana dakwah yang efektif untuk meningkatkan taraf hidup umat Islam dengan tetap menjaga nilai-nilai agama di tengah perubahan sosial yang cepat (Universitas Mathla’ul Anwar Banten, 2024).
Secara keseluruhan, pendekatan dakwah dan pendidikan lembaga-lembaga dakwah Indonesia awal menunjukkan adanya keberagaman strategi, sesuai dengan visi keislamannya masing-masing. NU mengikuti jalur budaya yang berbasis pada pesantren; Muhammadiyah
mendorong kebangkitan Islam dan pendidikan modern; PERSIS memilih jalan pemurnian
ajaran Islam; PUI mengedepankan moderasi untuk menjaga persatuan rakyat; sementara Mathla’ul Anwar menekankan pentingnya pendidikan Islam di daerah pedesaan.
Meskipun berbeda dalam metode dan orientasinya, semua organisasi ini telah memberi
sumbangan besar dalam membentuk citra Islam Indonesia yang dinamis dan beragam, namun senantiasa berakar pada nilai-nilai Islam yang kokoh.
3. Pengaruh Pemikiran Lembaga Dakwah terhadap Dinamika Sosial dan Politik Indonesia
Pemikiran Lembaga Dakwah Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah,
PERSIS, PUI dan Mathla’ul Anwar telah memberikan dampak yang signifikan terhadap dinamika sosial dan politik di Indonesia. Berikut ini adalah beberapa pengaruh utama yang teridentifikasi (Rosidin, 2016):
a) Agen Perubahan Sosial dan Problem Solver Umat
Lembaga dakwah Islam berperan sebagai solusi berbagai permasalahan sosial dan keagamaan. Merekamenjadi vektor mobilisasi sosial berkat identitas keagamaan yang kuat dan menawarkan solusi bagi masalah pendidikan, ekonomi, dan moralitas masyarakat.
b) Pembentukan Identitas Nasional dan Solidaritas Sosial
Organisasi seperti NU, Muhammadiyah dan Mathla’ul Anwar telah memainkan
peran penting dalam membentuk identitas nasional Indonesia. Mereka telah menjadi tulang punggung gerakan Islam, membantu membangun solidaritas sosial dan menyediakan perlindungan bagi kelompok terpinggirkan, termasuk buronan politik di
masa-masa sulit.
c) Pengaruh terhadap Kebijakan Politik dan Keterlibatan dalam Kekuasaan Beberapa organisasi massa Islam, terutama Mathla’ul Anwar, pernah mengambil sikap beroposisi terhadap pemerintah, sebelum akhirnya menjadi lebih
lunak untuk memastikan keberlangsungan hidup dan akses mereka terhadap dukungan finansial pemerintah. Pilihan politik ini kadang-kadang menyebabkan organisasi
menjadi elitis dan kehilangan kedekatannya dengan basis populernya.
d) Dinamika Internal dan Fragmentasi Perbedaan pendapat dalam organisasi, baik karena tekanan politik maupun ekonomi, sering kali berujung pada fragmentasi dan perpecahan, seperti yang dialami Mathla’ul Anwar selama transisi politik nasional. Fragmentasi ini berdampak pada kemunduran peran tradisional organisasi dan akses anggotanya terhadap ilmu-ilmu
Islam klasik.
e) Peran dalam Pendidikan dan Modernisasi Islam
Organisasi dakwah Islam berperan besar dalam pengembangan pendidikan
Islam, baik melalui madrasah, pondok pesantren, maupun sekolah modern. Muhammadiyah, misalnya, diakui sebagai pelopor dalam modernisasi pendidikan Islam, sementara Mathla’ul Anwar dan NU meneruskan tradisi pesantren dan pendidikan berbasis Kitab Kuning.
f) Mobilisasi Politik dan Dukungan terhadap Rezim
Pada masa Orde Baru, sejumlah ormas dakwah Islam, seperti Mathla’ul Anwar,
turut mendukung rezim penguasa demi keberlangsungan hidup mereka. Namun, transisi menuju Reformasi meminggirkan dan mengkritik publik organisasi-organisasi
massa yang dekat dengan Orde Baru (Solihin, 2010).
g) Netralitas dan Konsistensi Dakwah Meskipun ada dinamika politik, beberapa organisasi seperti Mathla’ul Anwar terus berupaya menjaga netralitas dan konsistensi dalam berdakwah, menolak keterlibatan langsung dalam politik praktis dan berfokus pada pengembangan masyarakat dan pengembangan pendakwah (Azima et al., 2024).
Lembaga dakwah Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, PERSIS, PUI dan Mathla’ul Anwar telah memberikan kontribusi besar terhadap dinamika sosial dan politik Indonesia. Melalui pendidikan, kegiatan dakwah Islam, dan kegiatan sosial, mereka tidak saja menyebarkan nilai-nilai Islam, tetapi juga membentuk jati diri keagamaan dan kesadaran berbangsa umat Islam. Peran strategis lembaga-lembaga ini terwujud dalam perjuangan kemerdekaan, pembangunan nasional, dan respons terhadap perubahan sosial dan politik. Kendati menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal, refleksi mereka terus memengaruhi evolusi masyarakat Indonesia, yang menjadikan lembaga dakwah Islam sebagai aktor penting dalam sejarah dan masa depan bangsa.
5. KESIMPULAN
Kajian historis terhadap lima lembaga dakwah Islam paling awal di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, PERSIS, PUI dan Mathla’ul Anwar, peneliti menyimpulkan bahwa masing-masing organisasi memiliki pendekatan unik dalam melaksanakan tugas dakwah Islam dan mendidik masyarakat. NU mengambil pendekatan tradisional, Muhammadiyah memurnikan ajaran Islam melalui pendidikan modern, PERSIS menekankan pemurnian dan skripturalisme, PUI, sintesis beberapa pendekatan, dan Mathla’ul Anwar, berfokus pada pendidikan berbasis pesantren. Meskipun terdapat perbedaan ideologis dan metodologis, semua lembaga ini memiliki komitmen yang sama untuk memperkuat Islam di masyarakat Indonesia. Kontribusinya sangat penting dalam membentuk pemikiran
keagamaan, sistem pendidikan Islam, dan struktur sosial masyarakat hingga saat ini.