INDODAILY.CO, PALEMBANG — Setelah dituntut oleh jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejagung RI dengan pidana penjara 18 tahun Penjara, dan ditambah dengan hukuman 9 Tahun, Terdakwa Ahmad Yaniarsyah juga menyampaikan nota pembelaannya (Pledoi) secara pribadi atas kasus Dugaan korupsi PDPDE Sumsel, di pengadilan negeri (PN) Palembang, Jumad (3/6/2022)
Dihadapan majelis hakim yoserizal SH MH,serta jaksa penuntut umum (JPU) dari kejaksaan Agung, Terdakwa Ahmad Yaniarsyah yang mengikuti persidangan secara virtual
Dalam nota pembelaannya terdakwa Ahmad Yaniarsyah Hasan,membantah semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut dirinya dengan tuntutan 18 tahun perjara ditambah hukuman tambahan 9 tahun.
“Saya pulang ke Palembang untuk membantu daerah saya, membantu BUMD (PDPDE Sumsel yang saat ini sedang dalam situasi yang kurang bahagia karena hanya memiliki asset Rp 62 Miliar. Proyek gas itu “sedekah” kami kepada daerah Sumsel, PDPDE Sumsel, semua kita biayai, semua prasyarat yang ditetapkan BP Migas (Sekarang SKK Migas-red) tak ada uang negara, sehingga takada kerugian negara, yang ada hanya keuntungan negara dan daerah saya, Sumatera Selatan,” ujar Ahmad Yaniarsyah, saat membacakan nota pembelaan dalam persidangan
Menurutnya ,fee marketing yang diterima olehnya dan kawan-kawan, semua telah diperjanjikan sebelumnya, itu merupakan kebijakan dari pemegang saham mayoritas dan diputuskan dalam RUPS. “Saya diberikan fee marketing atas jasa mendapatkan konsumen pembeli gas yaitu PT. LPPPI yang merupakan awal terbentuknya bisnis ini. Pemberian fee marketing ini juga merupakan penghargaan perusahaan karena saya selama 2 (dua) tahun lebih tidak mendapatkan gaji selama masa persiapan proyek dan sebelum perusahaan belum mendapatkan income,” ucapnya
Lanjut Ahmad Yaniarsyah Hasan menyesalkan kenapa Jaksa Penuntut Umum menyasar dirinya dalam perkara swasta yang telah menyumbang anggaran cukup besar bagi BUMD Sumsel. Seandainya JPU berpendapat Joint Venture Agreement (JVA) sebagai dasar perjanjian jual beli gas tersebut tidak sah atau hasil dari perbuatan melawan hukum, kenapa bukan Said Agus Putra yang dijadikan terdakwa. “Yang selalu menjadi pertanyaan saya, mengapa Saudara Said August Putra, orang yang menandatangani kedua JVA tersebut dan berstatus sebagai Direktur Utama PT DKLN pada saat itu, tidak diproses hukum layaknya proses hukum terhadap saya. Padahal dalam persidangan terungkap, Saudara Said August Putra selain menandatangani kedua JVA tersebut juga menandatangani akta-akta lainnya selama dia menjabat Direktur Utama PT DKLN. Lalu mengapa saya yang dijadikan kambing hitam? Apakah karena memang hukum di negeri ini tebang pilih?” tanya Ahmad Yaniarsyah Hasan, dengan nada sedih.
Dalam pledoinya ia juga memohon kepada Majelis Hakim, mintak dibebaskan dari segala tuntutan dan jaksa penuntut Umum dan diberikan hukum yang seadil-adilnya atas perkara PDPDE Sumsel “Ucapnya dengan Nada sedih melalui sambung teleconference
Sementara tim kuasa hukum terdakwa Ahmad Yaniarsyah Hasan, Ifdhal Kasim SH MH, Aristo Seda SH MH, J Kamal Farza SH MH, Secara bergantian juga membacakan pembelaan di persidangan,
Menurut Ifdhal Kasim, pihaknya juga sudah menjelaskan kepada Majelis Hakim tentang semua hal mengenai kasus ini, baik fakta persidangan, Analisa terhadap fakta persidangan, Analisa yuridis maupun permohonan kami selaku penasihat hukum. “Pada intinya, kami melihat,Ahmad Yaniarsyah Hasan itu korban salah sasaran, kalau masalahnya adalah soal fee, ada 9 aktor lain yang masih ada di luar sana yang harus ditangkap,” ujarnya.
Banyak sekali kejanggalan dalam perkara ini terungkap di persidangan, kata Ifdhal, oleh karena itu, pihaknya dalam naskah nota pembelaan setebal 281 hal itu, telah memohon kepada Majelis Hakim untuk membebaskan Ahmad Yaniarsyah Hasan dari segala tuntutan hukum. “Kasian klien kami, benar-benar tidak ada pasal pidana yang bias diberikan kepadanya, mereka pengusaha, investor, pakai uang sendiri membangun bisnis ini. Kita semua harus hati-hati, karena kasus ini bias menjadi preseden buruk yang menakutkan bagi pebisnis dan investor, ini akan berakibat buruk bagi daerah, dan bisnis di Indonesia,” imbuh Mantan Ketua Komnas HAM itu.
Sementara itu rekan Ifdhal, Aristo Seda SH MH menambahkan, dalam perkara kliennya, sangat susah baginya untuk menemukan unsur pidana, baik dari sisi perbuatan melawan hukum maupun dari aspek keuangan negara. Aristo mengutip pendapat Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej, yang mengatakan bahwa dari segi teori hukum keuangan negara, kekayaan negara/daerah adalah kekayaan sudah dipisahkan pada BUMN/BUMD, sudah tidak lagi merupakan kekayaan negara/daerah, karena telah terjadi transformasi hukum yang disebut dengan methamorphose hukum. “Apabila pembagian fee dan bonus di perusahaan swasta PT PDPDE Gas oleh pemegang saham mayoritas (PT DKLN -red) adalah sesuatu yang diperjanjikan, maka perlu dipahami bahwa terkait perjanjian tersebut berlaku asas pacta sun servanda, suatu perjanjian bersifat mengikat terhadap para pihak layaknya sebuah undang-undang,” tegasnya. “Haruslah dipahami, dengan asas pacta sun servanda tersebut, maka perbuatan tersebut hanya melaksanakan perjanjian yang sudah dibuat, dan tentunya menjadi tidak bersifat melawan hukum” imbuh Aristo Seda.
Advokat J Kamal Farza SH MH mengatakan, kasus ini tantangan berat bagi Majelis Hakim, karena disatu sisi terdakwa beserta keluarganya meletakkan harapan kepada Majelis Hakim, disisi lain JPU menuntut maksimal perkara yang ga ditemukan unsur pidana inu.
“Yang mulia sebagai benteng terakhir dari keadilan akan memutus perkara ini dengan seadil-adilnya,” ujar Kamal.
Mantan Ketua Mahkamah Agung Bapak Dr. Harifin A. Tumpa, S.H., lanjut Kamal, tidak sependapat jika pembebasan Terdakwa kasus korupsi dipermasalahkan. Jika memang tidak terbukti bersalah, seorang Terdakwa tidak bisa dihukum, kalau tidak terbukti boleh bebas.
“Keadilan tidak melulu dari Hakim yang memvonis Terdakwa, Hakim bahkan tidak berlaku adil jika memvonis Terdakwa yang tidak bersalah,” imbuhnya.
“Harapan kami ini menjadi kenyataan dan untuk itu kami mendoakan mudah-mudahan Allah SWT memberikan rahmat dan kekuatan kepada Yang Mulia Majelis Hakim dan diberi kejernihan hati serta kebeningan budi dalam memutus perkara ini,” tutupnya.