INDODAILY.CO, CIAMIS — Untuk membantu target Indonesia dan dunia Eliminasi TB di tahun 2030, Desa Sukamaju, Kecamatan Baregbeg, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat sudah memiliki kader TB khusus sejak tahun 2019.
Desa Sukamaju baru memiliki satu orang kader TB, dan Dia sudah mengikuti pelatihan di tahun 2019 sampai gelombang 5.
Elah Mudrikah (41) adalah Kader TB yang aktif di desa tersebut, Dia menceritakan pengalaman pelatihan penanggulan TB pada tahun 2019 di Lembaga Kesehatan Nahdatul Ulama (LKNU) Kabupaten Ciamis.
Setelah memiliki ilmu pengetahuan perihal penyakit menular tuberkulosis (TB) Dia selalu memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan atau Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) agar terhindar dari ancaman TB.
“Saya melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat kadang saat kumpulan ibu-ibu di mesjid, kumpulan ibu-ibu PKK dan bahkan dor to dor juga,” ucap Elah kepada Indodaily.co Jumat (15/7/2022).
Dilihat dari WHO Global TB Report 2021, kondisi saat ini; Estimasi kasus TB sebesar 845.000 maka Indonesia memiliki jumlah kasus kedua terbesar setelah India (2,64 juta), dengan cakupan pengobatan sebesar 67% maka diperkirakan 24,000 penderita akan menjadi TBC resisten obat (RO).
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular langsung, disebabkan oleh kuman (Mycobacterium tuberculosis). Bukan penyakit keturunan, kutukan atau guna-guna. TBC dapat menyerang siapa saja, akan tetapi penyakit ini dapat disembuhkan.
Provinsi Jawa Barat saat ini posisi pertama terbesar kasus Tuberkulosis (TB) di Indonesia, sedangkan Kabupaten Ciamis sendiri diurutan ke-27 terbanyak kasus TB di Jabar.
Dilanjutkan Elah, kasus TB di Desa Sukamaju pada tahun 2022 ditemukan 10 kasus yang positif, dari 10 itu sudah meninggal dua orang. 1 orang meninggal masih TB awal atau sensitif obat (SO) dan yang satu orang lagi sudah tingkat ke dua atau Resisten Obat (RO).
“Alhamdulilah sudah sembuh enam orang, dan ada dua orang yang masih dirawat,” ujarnya.
Setiap bulan Elah selalu mencari suspek TB (seseorang tersangka pasien TB), karena tugas kader yang telah lulus dalam pelatihan itu salah satunya mencari suspek, pengawasan obat dan penyuluhan TB di sekitar.
“Untuk tugas mencari suspek TB kemudian mendapatkan sampel dahak dan dibawa ke puskesmas, biasanya saya dapat reward dari Dinas Kesehatan,” paparnya.
Akan tetapi, kata Dia, dari Pemerintah Desa atau dari Puskesmas belum pernah ada insentif untuk kader TB. Misalkan untuk mencari suspek TB, mengontrol dan mengantarkan obat kepada pasien, untuk penyuluhan, di daerah lain kan sudah ada insentif minimal uang transportasi dari Pemdes.
“Kebetulan untuk di Kecamatan Baregbeg saya ketua kader TB, dari 30 lebih kader TB se-Kecamatan, yang aktif mencari suspek dan penyuluhan hanya ada 4 orang,” jelasnya.
Sementara itu, Bendahara Desa Sukamaju, Ira saat dikonfirmasi perihal insentif kader TB di desanya, dirinya tidak mengetahui sama sekali.
“Saya hanya tahunya, dari Dana Desa yang diperuntukan bidang kesehatan itu untuk kader-kader posyandu, saya belum tau kalau kader TB itu berbeda,” ungkapnya.
“Nanti akan saya coba usulkan ke bagian perencanaan agar dianggarkan khusus untuk kader TB,” tandasnya.